Minggu, 20 September 2015

Gadis Bulan Maret (Cerpen)



KEHANGATAN mentari pagi sungguh terasa. Aroma pagi yang menenangkan membuat langkah gadis berseragam putih abu-abu itu tampak ringan. Burung-burung bercekikik riang dan membuat gadis itu tersenyum senang namun tatkala melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya, dia tersentak dan melangkah lebih cepat.
            Pagi yang cerah di kompleks perumahan. Leya sengaja berjalan kaki menuju sekolahnya. Dikarenakan dia tak dapat mengendarai kendaraan dan tak enak jika harus menumpang ayahnya yang kerja di pesisir pantai, dia memang harus rela berkeringat saat sampai di sekolah atau pun ketika pulang sekolah.
            “Ma kasih, ya, Mbak.”
            Langkah kaki Leya berhenti beberapa meter dari toko bunga setelah keluar dari kompleks rumahnya. Dia dapat melihat dengan jelas seorang pemuda berseragam yang sama dengannya tampak memegang sebuket bunga saat keluar dari toko tersebut. Entah dorongan dari mana, tubuh kecil Leya mendekati teman sekolahnya itu.
            “Hai, Leya!” sambut pemuda itu dengan riang sembari menaiki motornya.
            “Hai, Lan,” sahut Leya, melirik bunga yang masih berada di genggaman Alan. “Bunga mawar untuk Mawar, ya? Dia pasti tertarik, deh.”
            Mawar. Gadis kursi roda yang selalu mendapat perhatian khusus dari Alan dan membuat Leya harus menelan ludahnya.
            Alan mengangguk. “Iya. Pasti tertarik. Semoga dia enggak trauma sama kejadian sebulan lalu. Ley, lo mau berangkat bareng gue?”
            Leya terdiam. Alan menawarkan tumpangan untuknya dan membuat Leya bimbang.
            “Ayo, Ley.” Leya seketika mengangguk dan menaiki motor Alan.
            “Lo tumben enggak beli bunga daffodil,” Alan tiba-tiba membuka percakapan sebelum motornya melaju. Leya sempat bingung dengan arah pembicaraan Alan. Namun, matanya kemudian menangkap satu pot bunga daffodil.
            “Enggak tahu kenapa, gue bosan beli daffodil. Mungkin pas ulang tahun gue, gue beli bunga daffodil,” jawab Leya sekenanya.
            “Lusa ulang tahun lo, kan? Berarti lo bakal beli bunga daffodil?”
            Leya terdiam. Lusa juga ulang tahun lo, Lan. “Kayaknya, sih, iya. Tergantung dompet juga.”
            Alan tertawa kecil. “Tiga tahun gue kenal sama lo. Pasti setiap bulan Maret, lo pasti identik dengan bunga daffodil. Emang ada apa, sih, sama bunga itu?”
            “Bunga daffodil itu,” Leya mulai menjelaskan tepat Alan mulai menyalakan mesin motornya dan motor itu melaju ringan, “artinya kelahiran kembali, menghormati, menghargai dan...”
            Leya seketika menggantungkan ucapannya. Kata terakhirnya betul-betul menyesakkan jika harus dilafalkan. Dia tak pernah percaya tentang arti sebuah bunga yang disalahgunakan menjadi sebuah ramalan. Namun adakalanya setiap bunga memiliki makna yang benar-benar nyata.
            “Dan, apa?” tanya Alan lantas membuyarkan lamunan Leya.
            “Dan, gue berharap setiap bulan Maret—bukan bulan ini aja, tapi setiap bulan, gue dapat sesuatu baru yang bisa buat gue merasakan lahir kembali.  Dapat merasakan makna dari hidup di dunia ini. Gue harus selalu bisa menghargai orang lain, dan setiap karya-karya yang diciptakan orang itu.
            “Lan, lo tahu, enggak, kenapa setiap bulan Maret, gue selalu kasih dua tangkai ke orang-orang yang ada di sekitar gue?” tanya Leya. Gadis itu lalu mengulum senyum. “Bunga Daffodil itu seperti hari baru dan gue harus kasih kesempatan baru pada orang-orang dengan dua tangkai Daffodil.”
            “Kenapa harus dua tangkai? Satu tangkai aja udah cukup,” sela Alan. Leya kembali terdiam.
            “Karena satu tangkai daffodil berarti kesialan.” Alan seketika menoleh dan mendapati Leya yang berada di belakangnya tampak memandang kosong jalanan.
            “Berarti lo percaya kalau satu tangkai daffodil berarti kesialan? Ya, ampun! Masih ada yang percaya sama arti bunga,” cibir Alan. Dia kemudian terkekeh mendapati Leya memukul kepalanya.
            “Gue enggak percaya kayak gituan. Kalau gue kasih satu tangkai daffodil ke orang yang pakar bunga, bisa-bisa dia tersinggung gegara gue kasih kesialan ke dia.”
            “Ya udah, pura-pura enggak tahu arti bunga itu,” jawab Alan seadanya dan dia langsung diberti lototan dari Leya. “Dasar, Gadis Bulan Maret.”
            Leya menganga. “Apa? Gadis Bulan Maret? Dasar, Bujang—”
            Alan langsung menyela. “Bujang?”
            “Gue bingung pasangan gadis itu apa. Jadi gue panggil bujang. Lagian artinya sama aja—Lan, lo mau ke mana? Ini bukan jalan ke sekolah!” seru Leya terkejut ketika Alan membelokkan motornya ke arah kiri.
            Sebelum Leya mendapatkan jawaban dari Alan, dia bergeming menyadari bahwa Alan sedang menuju ke kompleks perumahan Mawar. Dan motor Alan berhenti beberapa meter dari rumah Mawar.
            Leya langsung tergugu saat seorang pria paruh baya tengah menggendong seorang perempuan berseragam yang sama dengannya masuk ke mobil. Setelah memasukkan gadis itu ke dalam mobil, pria itu pun memasukkan sebuah kursi roda untuk ikut serta. Dia Mawar, gadis yang kini lumpuh karena kecelakaan dan membuat gadis itu juga kehilangan pacarnya.
            “Kenapa ke sini, Lan?” Leya tidak mendapatkan jawaban dari Alan. Namun gadis itu akhirnya mengerti bahwa sudah sebulan Alan menjadi penguntit Mawar. Dan fakta itu membuatnya menjadi sesak.
            Sesak itu kembali hadir ketika Alan mulai melajukan motornya mengikuti mobil yang membawa Mawar. Leya sudah dua tahun memendam rasa terhadap Alan dan Mawar, (mantan) sahabatnya itu yang justru mendapatkan perhatian dari Alan.
            Alan suka mencari perhatian dengan Mawar, bahkan ketika Mawar sudah resmi menjadi pacar dari Ray. Alan semakin sering menggoda Mawar, apalagi di hadapan Ray. Jadi tak heran jika Leya sering melihat Alan dan Ray bertengkar karena Mawar. Leya selalu berpikir kenapa Alan suka sekali menggoda Mawar. Tapi hanya satu jawaban yang terlintas di benaknya. Alan menaksir Mawar.
***
            Hari ini hari ulang tahun Leya. Khusus di hari ulang tahunnya, gadis itu berangkat ke sekolah menggunakan sepedanya. Tak lupa dia membawa seikat bunga daffodil dan seikat bunga lili yang dimasukkan ke dalam plastik besar. Sambil menaiki sepedanya, dia menaruh plastik berisi bunga-bunga itu ke keranjang sepeda.
            Hari ulang tahunnya berarti hari ulang tahun Alan. Leya tak sabar untuk memberikan seikat daffodil kepada Alan sebagai kado ulang tahun. Awalnya, ibunya menyuruh membawa beberapa tangkai dan memberikan setangkai untuk teman yang berulang tahun. Leya menolaknya karena alasan kesialan tersebut dan dia tak mau dikira pilih kasih karena Leya memberikan Alan setangkai daffodil sementara orang lain dua tangkai.
            “Arial! Lihat Alan, enggak?” Leya tiba-tiba berseru kepada temannya ketika memarkirkan sepedanya.
            “Tadi gue lihat di taman belakang sekolah,” jawab Arial. Mata pemuda itu langsung terarah ke plastik besar yang dijinjing Leya. “Itu apa?”
            “Oh, ini bunga daffodil buat kado ulang tahun Alan. Awalnya gue mau bawa banyak buat bagi-bagi. Tapi gue janji buat kasih buat teman-teman dan buat lo juga besok.” Leya mengeluarkan dua ikat bunga di plastik itu. “Oke. Gue cari Alan dulu, ya!”
            Leya lantas berlari meninggalkan Arial yang bergeming di belakang. Namun, langkah Leya terhenti ketika menyadari ada seikat bunga lili di genggamannya. Bunga tanda persahabatan dan pengkhianatan. Leya tersenyum miris ketika mengingat kenangan di mana dirinya dan Mawar masih tertawa bersama dan berbagi cerita.
Leya segera menggelengkan kepalanya, menepis semua benak yang terlintas tentang Mawar. Namun dia juga bingung. Untuk apa dia memberikan seikat bunga lili kepada Mawar yang jelas-jelas sudah mempermainkan persahabatan yang sudah terjalin cukup lama? Tak mau pusing, dia segera melanjutkan langkahnya.
Masih ada Arial di belakangnya. Leya tak tahu bahwa Arial mengikuti langkah kakinya menuju taman belakang sekolah.
***
            Gadis itu tergugu di tempat kala melihat sepasang insan sedang bercanda di dekat kolam ikan. Leya mendengus saat tahu siapa yang sedang dipergokinya. Kebetulan sekali jika dia harus memberikan seikat lili untuk yang perempuan. Tapi rasa sakit mengingat kilasan kenangan yang menyakitkan itu, sontak membuatnya melempar dua ikat bunga yang digenggamnya.
            Leya tak ingin merasakan sesak berkali-kali. Dulu, dia Cuma main-main menyukai Alan. Namun lambat laun rasa itu menjadi kagum. Dia tak bosan-bosannya memandang wajah tampan dan manis seorang Alan. Dia mengklaim bahwa dirinya adalah penggemar Alan. Tapi kini dia tak bisa menasirkan rasa itu lagi. Dia menjadi sesak sekarang.
            “Enggak jadi kasih kado buat Alan?” Leya terkesiap ketika ada yang bertanya. Dia lalu menemukan Arial yang dengan santai mendekat.
            “Dia lagi enggak ingin diganggu.” Leya mengedikkan dagu lalu tertawa kecil.
            “Enggak ingin diganggu, atau lo yang takut cemburu?”
            Leya langsung menoleh. Kata-kata Arial cukup mengganggunya. Dia menghela napas dan memandang nanar kepada Alan dan Mawar.
            “Jadi penggemar itu harus siap patah hati.”
            Itu alibi. Arial yakin bahwa Leya sedang berbohong lewat ucapan. Tapi Arial tak dapat mencegahnya. Dia membiarkan Leya pergi meninggalkan dua ikat bunga di samping pohon mangga yang sedang berbuah lebat. Arial sekilas melirik Alan dan Mawar, lantas menggerakkan kakinya untuk menjauh.
***
            Alan selalu tahu bahwa Leya suka sekali dengan bunga daffodil yang merupakan lambang kelahiran bunga Maret. Tak heran jika dia terkejut melihat bunga daffodil yang terbengkalai di dekat pohon. Dia langsung teringat akan Leya.
            “Kenapa Lan?” tanya Mawar.
            “Di situ ada bunga. Gue ambil dulu, ya,” tunjuk Alan. Pemuda itu berlari mendekat ke arah bunga daffodil. Mawar menyusul Alan dengan menggerakkan kursi rodanya.
            “Bunga lili?” Mawar tergugu. Dia tahu arti bunga tersebut dan membuatnya mengingat Leya dan segala cerita yang pernah terjalin di antara mereka. Tanpa sadar Mawar menangis sembari memungut seikat bunga lili tersebut.
            “Gue duluan, ya, Lan. Mau memperbaiki semuanya,” pamit Mawar. Gadis itu menggerakkan kursi rodanya menjauh dari Alan. Alan tak mencegahnya. Pemuda itu tahu dan dia berharap ketegangan antara Mawar dan kenangan bunga lili itu segera selesai.
            Alan tahu siapa pemberi bunga lili itu begitu pula dengan bunga daffodil. Tebakannya tertuju kepada satu orang. Gadis Bulan Maret. Alan tertawa kecil mengingat percakapannya dengan Leya dua hari yang lalu, saat gadis itu memberi alasan kenapa dia menyukai bunga daffodil.
            “Arti bunga daffodil bukan itu aja, Ley. Bunga daffodil itu juga berarti cinta tak terbalaskan.”
            Alan sudah tahu sebelum Leya menjelaskan. “Tapi itu enggak berarti buat lo ke gue, Ley,” bisik Alan syahdu.
            Thanks kadonya, Ley. Selamat ulang tahun juga buat lo, Gadis Bulan Maret.”
***
            “Gue suka sama lo, Ley.”
            Leya tersentak mendengar pertanyaan itu sampai dia menghentakkan kakinya terlanjur kaget. Seorang Arial. Arial yang terkesan dingin kepadanya mengatakan hal yang membuat dirinya hampir tak percaya. Kenapa pemuda itu berkata ketika dia sedang patah hati?
            “Ya, enggak usah lo jawab, kok, Ley. Gue berharap lo enggak kasih bunga daffodil ke gue. Lo enggak kasih bunga daffodil itu ke gue aja, cinta gue memang enggak terbalas.” Arial beranjak dari duduknya dan membuat Leya merasa tak nyaman.
            Arial lalu melangkahkan kakinya keluar dari kelas yang sudah cukup ramai. Leya bergeming di tempatnya dan sibuk memikirkan pernyataan Arial.
            “Jangan langsung mengira yang ada di pikiran lo itu nyata, Ley. Dan seharusnya lo enggak usah kasih bunga daffodil ke Alan.” []