KEHANGATAN
mentari pagi sungguh terasa. Aroma pagi yang menenangkan membuat langkah gadis
berseragam putih abu-abu itu tampak ringan. Burung-burung bercekikik riang dan
membuat gadis itu tersenyum senang namun tatkala melirik jam tangan yang
melingkar di pergelangan kirinya, dia tersentak dan melangkah lebih cepat.
Pagi yang cerah di kompleks
perumahan. Leya sengaja berjalan kaki menuju sekolahnya. Dikarenakan dia tak
dapat mengendarai kendaraan dan tak enak jika harus menumpang ayahnya yang
kerja di pesisir pantai, dia memang harus rela berkeringat saat sampai di
sekolah atau pun ketika pulang sekolah.
“Ma kasih, ya, Mbak.”
Langkah kaki Leya berhenti beberapa
meter dari toko bunga setelah keluar dari kompleks rumahnya. Dia dapat melihat
dengan jelas seorang pemuda berseragam yang sama dengannya tampak memegang
sebuket bunga saat keluar dari toko tersebut. Entah dorongan dari mana, tubuh
kecil Leya mendekati teman sekolahnya itu.
“Hai, Leya!” sambut pemuda itu
dengan riang sembari menaiki motornya.
“Hai, Lan,” sahut Leya, melirik
bunga yang masih berada di genggaman Alan. “Bunga mawar untuk Mawar, ya? Dia
pasti tertarik, deh.”
Mawar. Gadis kursi roda yang selalu
mendapat perhatian khusus dari Alan dan membuat Leya harus menelan ludahnya.
Alan mengangguk. “Iya. Pasti
tertarik. Semoga dia enggak trauma sama kejadian sebulan lalu. Ley, lo mau
berangkat bareng gue?”
Leya terdiam. Alan menawarkan
tumpangan untuknya dan membuat Leya bimbang.
“Ayo, Ley.” Leya seketika mengangguk
dan menaiki motor Alan.
“Lo tumben enggak beli bunga
daffodil,” Alan tiba-tiba membuka percakapan sebelum motornya melaju. Leya
sempat bingung dengan arah pembicaraan Alan. Namun, matanya kemudian menangkap
satu pot bunga daffodil.
“Enggak tahu kenapa, gue bosan beli
daffodil. Mungkin pas ulang tahun gue, gue beli bunga daffodil,” jawab Leya
sekenanya.
“Lusa ulang tahun lo, kan? Berarti
lo bakal beli bunga daffodil?”
Leya terdiam. Lusa juga ulang tahun lo, Lan. “Kayaknya, sih, iya. Tergantung
dompet juga.”
Alan tertawa kecil. “Tiga tahun gue
kenal sama lo. Pasti setiap bulan Maret, lo pasti identik dengan bunga
daffodil. Emang ada apa, sih, sama bunga itu?”
“Bunga daffodil itu,” Leya mulai
menjelaskan tepat Alan mulai menyalakan mesin motornya dan motor itu melaju
ringan, “artinya kelahiran kembali, menghormati, menghargai dan...”
Leya seketika menggantungkan
ucapannya. Kata terakhirnya betul-betul menyesakkan jika harus dilafalkan. Dia
tak pernah percaya tentang arti sebuah bunga yang disalahgunakan menjadi sebuah
ramalan. Namun adakalanya setiap bunga memiliki makna yang benar-benar nyata.
“Dan, apa?” tanya Alan lantas
membuyarkan lamunan Leya.
“Dan, gue berharap setiap bulan
Maret—bukan bulan ini aja, tapi setiap bulan, gue dapat sesuatu baru yang bisa
buat gue merasakan lahir kembali. Dapat
merasakan makna dari hidup di dunia ini. Gue harus selalu bisa menghargai orang
lain, dan setiap karya-karya yang diciptakan orang itu.
“Lan, lo tahu, enggak, kenapa setiap
bulan Maret, gue selalu kasih dua tangkai ke orang-orang yang ada di sekitar
gue?” tanya Leya. Gadis itu lalu mengulum senyum. “Bunga Daffodil itu seperti
hari baru dan gue harus kasih kesempatan baru pada orang-orang dengan dua
tangkai Daffodil.”
“Kenapa harus dua tangkai? Satu
tangkai aja udah cukup,” sela Alan. Leya kembali terdiam.
“Karena satu tangkai daffodil
berarti kesialan.” Alan seketika menoleh dan mendapati Leya yang berada di
belakangnya tampak memandang kosong jalanan.
“Berarti lo percaya kalau satu
tangkai daffodil berarti kesialan? Ya, ampun! Masih ada yang percaya sama arti
bunga,” cibir Alan. Dia kemudian terkekeh mendapati Leya memukul kepalanya.
“Gue enggak percaya kayak gituan.
Kalau gue kasih satu tangkai daffodil ke orang yang pakar bunga, bisa-bisa dia
tersinggung gegara gue kasih kesialan ke dia.”
“Ya udah, pura-pura enggak tahu arti
bunga itu,” jawab Alan seadanya dan dia langsung diberti lototan dari Leya.
“Dasar, Gadis Bulan Maret.”
Leya menganga. “Apa? Gadis Bulan
Maret? Dasar, Bujang—”
Alan langsung menyela. “Bujang?”
“Gue bingung pasangan gadis itu apa.
Jadi gue panggil bujang. Lagian artinya sama aja—Lan, lo mau ke mana? Ini bukan
jalan ke sekolah!” seru Leya terkejut ketika Alan membelokkan motornya ke arah
kiri.
Sebelum Leya mendapatkan jawaban
dari Alan, dia bergeming menyadari bahwa Alan sedang menuju ke kompleks
perumahan Mawar. Dan motor Alan berhenti beberapa meter dari rumah Mawar.
Leya langsung tergugu saat seorang
pria paruh baya tengah menggendong seorang perempuan berseragam yang sama
dengannya masuk ke mobil. Setelah memasukkan gadis itu ke dalam mobil, pria itu
pun memasukkan sebuah kursi roda untuk ikut serta. Dia Mawar, gadis yang kini
lumpuh karena kecelakaan dan membuat gadis itu juga kehilangan pacarnya.
“Kenapa ke sini, Lan?” Leya tidak
mendapatkan jawaban dari Alan. Namun gadis itu akhirnya mengerti bahwa sudah
sebulan Alan menjadi penguntit Mawar. Dan fakta itu membuatnya menjadi sesak.
Sesak itu kembali hadir ketika Alan
mulai melajukan motornya mengikuti mobil yang membawa Mawar. Leya sudah dua
tahun memendam rasa terhadap Alan dan Mawar, (mantan) sahabatnya itu yang
justru mendapatkan perhatian dari Alan.
Alan suka mencari perhatian dengan
Mawar, bahkan ketika Mawar sudah resmi menjadi pacar dari Ray. Alan semakin
sering menggoda Mawar, apalagi di hadapan Ray. Jadi tak heran jika Leya sering
melihat Alan dan Ray bertengkar karena Mawar. Leya selalu berpikir kenapa Alan
suka sekali menggoda Mawar. Tapi hanya satu jawaban yang terlintas di benaknya.
Alan menaksir Mawar.
***
Hari ini hari ulang tahun Leya.
Khusus di hari ulang tahunnya, gadis itu berangkat ke sekolah menggunakan
sepedanya. Tak lupa dia membawa seikat bunga daffodil dan seikat bunga lili
yang dimasukkan ke dalam plastik besar. Sambil menaiki sepedanya, dia menaruh
plastik berisi bunga-bunga itu ke keranjang sepeda.
Hari ulang tahunnya berarti hari
ulang tahun Alan. Leya tak sabar untuk memberikan seikat daffodil kepada Alan
sebagai kado ulang tahun. Awalnya, ibunya menyuruh membawa beberapa tangkai dan
memberikan setangkai untuk teman yang berulang tahun. Leya menolaknya karena
alasan kesialan tersebut dan dia tak mau dikira pilih kasih karena Leya
memberikan Alan setangkai daffodil sementara orang lain dua tangkai.
“Arial! Lihat Alan, enggak?” Leya
tiba-tiba berseru kepada temannya ketika memarkirkan sepedanya.
“Tadi gue lihat di taman belakang
sekolah,” jawab Arial. Mata pemuda itu langsung terarah ke plastik besar yang
dijinjing Leya. “Itu apa?”
“Oh, ini bunga daffodil buat kado
ulang tahun Alan. Awalnya gue mau bawa banyak buat bagi-bagi. Tapi gue janji buat
kasih buat teman-teman dan buat lo juga besok.” Leya mengeluarkan dua ikat
bunga di plastik itu. “Oke. Gue cari Alan dulu, ya!”
Leya lantas berlari meninggalkan
Arial yang bergeming di belakang. Namun, langkah Leya terhenti ketika menyadari
ada seikat bunga lili di genggamannya. Bunga tanda persahabatan dan
pengkhianatan. Leya tersenyum miris ketika mengingat kenangan di mana dirinya
dan Mawar masih tertawa bersama dan berbagi cerita.
Leya segera
menggelengkan kepalanya, menepis semua benak yang terlintas tentang Mawar.
Namun dia juga bingung. Untuk apa dia memberikan seikat bunga lili kepada Mawar
yang jelas-jelas sudah mempermainkan persahabatan yang sudah terjalin cukup
lama? Tak mau pusing, dia segera melanjutkan langkahnya.
Masih ada
Arial di belakangnya. Leya tak tahu bahwa Arial mengikuti langkah kakinya
menuju taman belakang sekolah.
***
Gadis itu tergugu di tempat kala
melihat sepasang insan sedang bercanda di dekat kolam ikan. Leya mendengus saat
tahu siapa yang sedang dipergokinya. Kebetulan sekali jika dia harus memberikan
seikat lili untuk yang perempuan. Tapi rasa sakit mengingat kilasan kenangan
yang menyakitkan itu, sontak membuatnya melempar dua ikat bunga yang
digenggamnya.
Leya tak ingin merasakan sesak
berkali-kali. Dulu, dia Cuma main-main menyukai Alan. Namun lambat laun rasa
itu menjadi kagum. Dia tak bosan-bosannya memandang wajah tampan dan manis
seorang Alan. Dia mengklaim bahwa dirinya adalah penggemar Alan. Tapi kini dia
tak bisa menasirkan rasa itu lagi. Dia menjadi sesak sekarang.
“Enggak jadi kasih kado buat Alan?” Leya
terkesiap ketika ada yang bertanya. Dia lalu menemukan Arial yang dengan santai
mendekat.
“Dia lagi enggak ingin diganggu.”
Leya mengedikkan dagu lalu tertawa kecil.
“Enggak ingin diganggu, atau lo yang
takut cemburu?”
Leya langsung menoleh. Kata-kata
Arial cukup mengganggunya. Dia menghela napas dan memandang nanar kepada Alan
dan Mawar.
“Jadi penggemar itu harus siap patah
hati.”
Itu alibi. Arial yakin bahwa Leya
sedang berbohong lewat ucapan. Tapi Arial tak dapat mencegahnya. Dia membiarkan
Leya pergi meninggalkan dua ikat bunga di samping pohon mangga yang sedang
berbuah lebat. Arial sekilas melirik Alan dan Mawar, lantas menggerakkan
kakinya untuk menjauh.
***
Alan selalu tahu bahwa Leya suka
sekali dengan bunga daffodil yang merupakan lambang kelahiran bunga Maret. Tak
heran jika dia terkejut melihat bunga daffodil yang terbengkalai di dekat
pohon. Dia langsung teringat akan Leya.
“Kenapa Lan?” tanya Mawar.
“Di situ ada bunga. Gue ambil dulu,
ya,” tunjuk Alan. Pemuda itu berlari mendekat ke arah bunga daffodil. Mawar
menyusul Alan dengan menggerakkan kursi rodanya.
“Bunga lili?” Mawar tergugu. Dia
tahu arti bunga tersebut dan membuatnya mengingat Leya dan segala cerita yang
pernah terjalin di antara mereka. Tanpa sadar Mawar menangis sembari memungut
seikat bunga lili tersebut.
“Gue duluan, ya, Lan. Mau
memperbaiki semuanya,” pamit Mawar. Gadis itu menggerakkan kursi rodanya
menjauh dari Alan. Alan tak mencegahnya. Pemuda itu tahu dan dia berharap
ketegangan antara Mawar dan kenangan bunga lili itu segera selesai.
Alan tahu siapa pemberi bunga lili
itu begitu pula dengan bunga daffodil. Tebakannya tertuju kepada satu orang. Gadis
Bulan Maret. Alan tertawa kecil mengingat percakapannya dengan Leya dua hari
yang lalu, saat gadis itu memberi alasan kenapa dia menyukai bunga daffodil.
“Arti bunga daffodil bukan itu aja,
Ley. Bunga daffodil itu juga berarti cinta tak terbalaskan.”
Alan sudah tahu sebelum Leya
menjelaskan. “Tapi itu enggak berarti buat lo ke gue, Ley,” bisik Alan syahdu.
“Thanks
kadonya, Ley. Selamat ulang tahun juga buat lo, Gadis Bulan Maret.”
***
“Gue suka sama lo, Ley.”
Leya tersentak mendengar pertanyaan
itu sampai dia menghentakkan kakinya terlanjur kaget. Seorang Arial. Arial yang
terkesan dingin kepadanya mengatakan hal yang membuat dirinya hampir tak
percaya. Kenapa pemuda itu berkata ketika dia sedang patah hati?
“Ya, enggak usah lo jawab, kok, Ley.
Gue berharap lo enggak kasih bunga daffodil ke gue. Lo enggak kasih bunga
daffodil itu ke gue aja, cinta gue memang enggak terbalas.” Arial beranjak dari
duduknya dan membuat Leya merasa tak nyaman.
Arial lalu melangkahkan kakinya
keluar dari kelas yang sudah cukup ramai. Leya bergeming di tempatnya dan sibuk
memikirkan pernyataan Arial.
“Jangan langsung mengira yang ada di
pikiran lo itu nyata, Ley. Dan seharusnya lo enggak usah kasih bunga daffodil
ke Alan.” []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar