“Aku suka hujan.”
Aku tersenyum tipis mendengar pengakuanmu. Aku tahu dari dulu kau selalu mendatangi hujan dan berteriak lepas kala rintikan dari langit menerjang tubuhmu sehingga tubuhmu menjadi basah apalagi kau akan selalu berujar bahwa kau menyukai petrichor – bau khas hujan – yang amat kubenci.
“Lea, kamu suka apa?”
Pertanyaanmu itu selalu membuatku kesal, jujur saja. Aku tak suka dikejar pertanyaan dan kau selalu terus mengajukan pertanyaan yang sama. Apakah kau tahu bahwa –
“Aku suka matahari.”
Kau akan mengernyitkan dahi ketika kerap selalu kujawab dengan jawaban seperti itu. Dan kau selalu menanyakan alasan mengapa aku menyukai matahari. Aku hanya bergeming dan terus mendengar rentetan pertanyaanmu. Aku bosan mendengar celotehanmu sebenarnya. Namun, suara indahmu seperti candu yang selalu enak untuk didengar. Dan aku menyukainya.
“Lea, kenapa kamu suka matahari?” tanyamu lagi.
Aku tersenyum kali ini. Segera kujawab, “Karena matahari itu memendarkan kehangatan.”
“Memendarkan kehangatan?” Aku mengangguk pelan namun mantap.
“Iya. Karena aku nyaman berada di sela-sela canda dan tawa yang hangat dan senyuman yang menenangkan, sama seperti ini.”
Kau tersenyum mendengar penuturanku. Oh, syukurlah, akhirnya kau peka.
“Aku berharap hujan mampu bersatu dengan matahari.”
Aku terenyak. Ucapanmu seperti ambigu yang harus segera dipecahkan.
“Karena aku merindukan sosok seperti hujan yang mendamaikan kala aku memandang senyumnya.” []
Aku tersenyum tipis mendengar pengakuanmu. Aku tahu dari dulu kau selalu mendatangi hujan dan berteriak lepas kala rintikan dari langit menerjang tubuhmu sehingga tubuhmu menjadi basah apalagi kau akan selalu berujar bahwa kau menyukai petrichor – bau khas hujan – yang amat kubenci.
“Lea, kamu suka apa?”
Pertanyaanmu itu selalu membuatku kesal, jujur saja. Aku tak suka dikejar pertanyaan dan kau selalu terus mengajukan pertanyaan yang sama. Apakah kau tahu bahwa –
“Aku suka matahari.”
Kau akan mengernyitkan dahi ketika kerap selalu kujawab dengan jawaban seperti itu. Dan kau selalu menanyakan alasan mengapa aku menyukai matahari. Aku hanya bergeming dan terus mendengar rentetan pertanyaanmu. Aku bosan mendengar celotehanmu sebenarnya. Namun, suara indahmu seperti candu yang selalu enak untuk didengar. Dan aku menyukainya.
“Lea, kenapa kamu suka matahari?” tanyamu lagi.
Aku tersenyum kali ini. Segera kujawab, “Karena matahari itu memendarkan kehangatan.”
“Memendarkan kehangatan?” Aku mengangguk pelan namun mantap.
“Iya. Karena aku nyaman berada di sela-sela canda dan tawa yang hangat dan senyuman yang menenangkan, sama seperti ini.”
Kau tersenyum mendengar penuturanku. Oh, syukurlah, akhirnya kau peka.
“Aku berharap hujan mampu bersatu dengan matahari.”
Aku terenyak. Ucapanmu seperti ambigu yang harus segera dipecahkan.
“Karena aku merindukan sosok seperti hujan yang mendamaikan kala aku memandang senyumnya.” []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar