Rabu, 20 Agustus 2014

Saat Menunggu Hujan (Cerpen) - Repost

Langit tampak mendung. Udaranya juga sangat menusuk bulu roma di sekitar kulitku. Aku mendekap tubuhku menghangatkan badan yang sudah dingin.
Aku berlari kecil di rinaian hujan yang cukup deras untuk mencari perlindungan. Aku menyesal, payung yang biasanya kubawa ke sekolah, tertinggal di rumah. Aku berhenti di halte terdekat dan duduk
di bangku tunggu menunggu hujan reda dan pulang ke rumah. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.20. dan setelah itu, Aku akan pergi les.
Aku semakin erat memeluk tubuhku. Dinginnya hujan, membuatku bibirku bergetar dan... ah pokoknya hari ini sangat dingin. Apalagi, saking dinginnya udara saat hujan, jarang kendaraan lewat di depan halte. Palingan tukang becak atau tukang ojek yang habis mengantar pelanggan.
"Ngik ngok ngik ngok." Suara apa itu? Aku menoleh ke kanan dan kiri mencari asal suara itu. Sepertinya itu adalah suara biola. Tapi siapakah yang membunyikannya? Tiba tiba saja bulu romaku bergidik. Rasa takut menjuluri perasaanku saat ini.
Aku sekali lagi menoleh ke arah kanan dan kiri. Sepi. Tak ada siapa pun. Hanya geresekan daun-daun yang tertempa angin hujan.
Apa jangan-jangan itu suara biolanya hantu penunggu halte ini? Ya, aku sering mendengar bahwa halte ini sudah dibangun pada masa pendudukan Jepang. Banyak prajurit Jepang maupun rakyat Indonesia tertembak mati di sini. Dan sekarang, halte ini masih berdiri kokoh, akan tetapi tak lepas dari roh halus dari jasad almarhum maupun almarhumah berarti halte ini ada penunggunya.
Aku semakin ketakutan. Apalagi hujan semakin deras dan aku sendirian.
Aku menatap jam tangan, waktu sudah menujukkan pukul.. HAHH!! Pukul 15.00? huufft Aku menghela napas. Aku terlambat, hujan juga belum reda-reda. Kalau aku nekad menerobos rintik-rintik yang seperti jarum ini, aku pasti akan kena omelan Bunda karena baju seragamku basah dan ini adalah musim hujan, mungkin seragamku tak akan kering jika dijemur. Aku juga terpaksa bolos les dan kena omelan juga dari ayah. Hah sial! Mereka tak peduli dengan keadaanku yang sekarang.
“Vhea!” panggil seseorang. Aku mendongak dan mendapati mobil honda jazz berwarna merah. Kaca pintu mobil itu terbuka dan menampakkan seorang wanita separuh baya. Wajahnya sudah mengeriput tapi beliau masih menjaga kebijaksanaanya. Hei! Aku mengenalnya. Beliau adalah Bu Rani, guru sejarahku.
“Kamu nggak pulang?”
Aku menggeleng. “Belum Bu, tunggu hujan reda dulu.”
“Ayo ikut Ibu!” Aku menggeleng lagi menolak tawaran Bu Rani, guru favoritku itu.
“Nggak, Bu. Vhea mau nunggu hujan reda aja, kayaknya asyik kalau berkhayal sambil nunggu hujan kayak gini,” alibiku.
Sebenarnya, aku sudah kedinginan. Tapi, aku takut ngerepotin Bu Rani, apalagi anak perempuannya, Kak Lida yang mengemudi mobil itu kurang menyukaiku. Entah apa alasannya. Mungkin jika aku menumpang ke mobil beliau, bisa bisa aku dicibir abis-abisan. Huufftt..
“Ya sudah, hati-hati ya, nanti pulangnya. Ibu duluan, ya.... Jangan terlalu banyak berkhayal. Nanti kamu kerasukan.” Aku mengangguk. Mobil mereka pun melaju dengan pelan. Sesekali Bu Rani melambaikan tangannya kepadaku.
Hufft, kapan hujan reda, ya? Kalau sampai maghrib nggak reda-reda, Bunda dan Ayah memarahiku dan aku tidak mendapat uang saku besok.
Hei hei sebentar, kerasukan? Bu Rani tadi bilang, jangan banyak berkhayal nanti kerasukan. Kok, lama-lama badanku terasa hangat ya tapi, kenapa bulu romau bergidik lagi? Untung saja, aku tidak mempunyai kekuatan supernatural yang kata orang-orang bisa melihat hal-hal gaib.
Aku berdiri dari tempat dudukku. Angin berhembus semakin kencang, dan daun yang jatuh terbang kian kemari. Membawa debu debu ke kelopak mataku. Aku menepuk-nepuk pantatku dan meraih tas jinggaku.
Hujan sudah reda. Aku melihat ke arah jam tangan sudah pukul 16.30. sudah sekitar 2 jam an Aku menunggu di halte angker ini.
Aku mengingat cerita tentang halte ini dari temanku, Kiran. Ia bilang bahwa halte ini ditunggu oleh perempuan cantik mengenakan dress panjang berwarna putih. Rambutnya hitam panjang legam dan terlihat kusut. Pendeskripsian hantu di dalam televisi yang sering kutonton. Oh ya, kata Kiran, ia selalu tersenyum dan senyumannya begitu hangat. Seperti senyuman seorang ibu kepada anaknya. So sweet
Aku memutuskan untuk pulang sekarang. Ketika Aku mengingat bagaimana hantu itu tersenyum, aku menjadi rindu dengan Bunda. Apakah bunda mencemaskanku saat ini? Apakah beliau marah saat bajuku berantakan dan basah seperti ini? Apapun reaksi bunda kepadaku nanti, aku tidak peduli. Yang penting Aku sudah pulang.
Aku melangkah meninggalkan halte yang kunamakan ‘halte angker’. Jahat sih, tapi mau gimana lagi? Halte itu sudah membuatku merinding beberapa kali. Sekitar 10 langkah Aku meninggalkan halte ini, aku merasakan ada yang ganjil. Biola itu! Siapakah yang membunyikan suara lembut itu?
“Sampaikan salamku kepada ibumu!” seru seseorang. Aku menengok dan mendapati seseorang tengah memangku biola berukuran mini dan duduk di bangku halte. Yang mempunyai senyuman hangat itu yang memainkan biola. Ia tersenyum kepadaku. Benar kata Kiran, jika wanita itu senyumannya sangat menyejukkan.
“Tentu saja, tante!” Aku melambaikan tanganku dan membalas senyumannya. Huu.. aku benar benar merindukan bunda! Cepatlah langkahku ini sampai ke rumah. Aku ingin memeluk bunda dan meminta maaf atas keterlambatanku pulang.
 ***
“BUNDA!!!” teriakku. Bunda yang sedang memasak menyambutku dengan cemas.
“Kamu kemana saja?” tanya Bunda. Kekhawatirannya mereda dan aku langsung lari ke pelukannya dan memeluknya dengan erat. “Hei, kamu kenapa, sayang? Kenapa basah gini?”
“Vhea abis nunggu hujan reda bun, terus Vhea ditemenin seorang wanita cantik yang mainin biola. Dan wanita itu ngingetin Vhea sama Bunda,” jelasku. “Tapi,, ternyata dia hantu…”
“Hah?!” bunda menganga. Aku terkikik pelan. “Kamu kenapa bisa berteman?” Aku menggeleng seraya mengangkat bahu.
“Udahlah, Bun, Vhea mau mandi.” Aku mencium pipi Bunda dan melangkah pergi meninggalkan Bunda dengan tersenyum bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar