Rabu, 06 Mei 2015

Arti Sesal (Cerpen)

Judul: Arti Sesal
Karya: Andhea
Kapasitas: 1365 karakter
Note: Didekasikan untuk para inspirator saat menulis cerita ini. Tiada kalimat yang terngiang untuk mengucapkan terima kasih kepada kalian.
***
HARI sudah semakin siang dan para pelayat mulai berpencar untuk pulang. Terlihat sepasang suami-istri bergeming di samping makam. Sang istri tampak menangis tersedu-sedu seraya mengelus batu bertuliskan nama almarhumah. Wanita kisaran 40-an itu dengan teganya berteriak meminta putrinya untuk pulang ke pelukannya dan menyangkal bahwa kebenaran putrinya meninggal itu tidak nyata.
            “Ma, jangan jadi seperti ini. Dira udah enggak ada. Jangan usik dia kayak gini. Nanti dia enggak tenang.” Tampak suaminya menenangkannya. Istrinya menggeleng dan kukuh untuk berteriak meminta Dira untuk kembali.
            Suaminya menghela napas sambil mengelus bahu istrinya. Kemudian matanya beralih kepada dua anaknya yang berdiri cukup jauh dari makam Dira. “Lang, kamu sama Kiera pulang duluan aja,” ucapnya, melihat Kiera yang tampak memandang dengan kosong.
            Galang mengangguk. Dia lalu membimbing Kiera untuk beranjak. Namun cewek itu menggeleng dan tetap memandang makam saudarinya dengan kosong.
            “Ki. Yuk, kita pulang,” ajak Galang. Kiera tetap bersikukuh untuk tinggal.
            “Pulang, Ki. Kita enggak bisa ngapa-ngapain lagi di sini. Papa udah nyuruh kita pulang.”
            “Gue enggak mau pulang, Lang. Gue masih belum bisa menebus kesalahan gue ke Dira,” jawab Kiera dengan lirih.
            Galang terhenyak. Adik tirinya itu  menangis lantas memeluk tubuh Galang. Galang tak bisa apa-apa. Dengan tenang, dia mendengar setiap kata yang terucap dari Kiera di sela-sela tangis. Kiera menyesal telah melempar gelas ke arah Dira dan menyebabkan kepala Dira mengalami kebocoran lalu akhirnya meninggal dunia setelah dirawat dua hari di rumah sakit.
            “Penyesalan memang terjadi di akhir, Ki. Dira udah ditakdirkan Tuhan untuk kembali kepada-Nya sebelum kita. Ini memang kesalahan lo, tapi lo bukan Tuhan yang mengatur kehidupan,” ucap Galang. Sembari mengelus punggung cewek itu, dia berbisik, “Kita pulang, ya.”
            Kiera beringsut dari pelukan Galang. Setelah menyeka air matanya, dia mengangguk setuju. Galang tersenyum lega lantas merangkul bahu kecil cewek itu dan berbalik untuk pulang.
            “Jangan kabur, Anak Pembunuh!”
            Kiera tersentak. Itu suara ibu tirinya dan menyelorohnya dengan sebutan Anak Pembunuh. Seketika rasa takut dan bersalah kembali menyelimutinya. Kiera menoleh ke arah Galang. Di mana Galang juga sama takutnya. Tapi cowok itu segera menggenggam tangan Kiera untuk menguatkan.
            “Dasar pembunuh yang enggak tahu diri! Kamu harus dapat karma! Tega-teganya membunuh anakku!” seru ibu Dira tersebut. Kiera dengan takut, berbalik badan juga dan dia dapat melihat wajah merah padam dari ibunya itu.
            “Nia, udah. Jangan terpancing seperti itu!” tukas sang suami, menarik istrinya yang ingin melabrak Kiera.
            “Dia udah ngebunuh Dira, Mas. Dia udah ngebunuh saudaranya sendiri!” sangkal Nia tetap tak mau mengalah. “Memang sialan ibunya itu!”
            Kiera menjadi membeku mendengar Nia yang kini mencaci maki ibunya yang sudah meninggal itu. Cewek itu semakin membenci ibu tirinya yang mencemooh ibu kandungnya. Hatinya menjerit-jerit menuduh Nia yang telah mengambil hati ayahnya dengan mengatakan hal yang tidak baik tentang ibunya.
             “Lang, cepat bawa Kiera pergi dari sini!” Sang ayah lantas berseru dengan kedua tangannya yang menahan tubuh istrinya tersebut.
            Galang tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia memandang adik tirinya yang tampak mengatur napas dan memandang Nia dengan tak suka. Segera tangan kekarnya mengalungi leher Kiera seraya berbisik, “Kita pulang aja,” lalu menarik Kiera untuk menjauh.
***
Galang menarik napas melihat pigura kecil di nakas. Sepasang remaja terpotret dengan gaya konyol di sana. Itu dia dan Kiera, sebelum mengetahui bahwa mereka terlahir biologis oleh satu ayah. Ibunya adalah istri pertama ayahnya. Sayangnya, setelah ibunya melahirkan dirinya, ayahnya telah menikah dengan wanita lain dan wanita itu sedang mengandung. Akhirnya ibunya dan ayahnya bercerai.
Beberapa tahun kemudian, istri kedua ayahnya meninggal dunia dan ayahnya menikah lagi dengan seorang janda beranak satu. Galang yang saat itu ditinggal ibu dan kakaknya untuk bekerja menjadi TKI di luar negeri, dititipkan kepada ayahnya. Dia tak tahu bahwa dirinya masih memunyai ayah dan memunyai dua adik tiri. Sebelum dia tinggal bersama ayahnya, dia sudah mengenal dua adik tirinya dengan baik. Kiera dan Dira yang saling bermusuhan.
Entah, kata apa yang tepat untuk gejolak di dirinya. Dia dan Dira adalah sepasang sahabat semasa kecil. Sementara dengan Kiera... Galang segera menggelengkan kepala mengusir gusar dan kalut yang tiba-tiba menghampiri. Dan tepat ketika seseorang menyelonong masuk ke kamarnya sambil berteriak ketakutan.
“Galang, tolongin gue!” pekik Kiera, mendekap tubuh Galang untuk bersembunyi.
“Nia, udah! Kiera itu anak kamu! Dia udah minta maaf, lagian itu juga enggak sengaja. Kenapa harus bawa-bawa nama polisi, sih?” Galang bisa mendengar ayahnya yang mengomel kepada ibu tirinya.
“Walaupun itu enggak sengaja, dia udah ngebunuh Dira, Mas. Udah ngebunuh anakku satu-satunya,” terdengar suara serak yang selanjutnya menjadi lirih.
Galang mengembuskan napasnya, tak tahu harus berbuat apa. Terlihat Kiera yang menyembunyikan wajahnya di dekapannya tampak gemetar. Pintu kamar yang terbuka itu lalu dia tutup. Kemudian dia membimbing Kiera untuk duduk di bibir ranjang. Wajah dan mata cewek itu benar-benar tak sedap dipandang.
“Lo berapa lama nangis, Ki?” tanya Galang setelah menyudahi keterkejutannya.
“Tiga hari,” sahut Kiera pendek.
“Lang, kalo lo mau ceramah, biarin gue ngomong, kalo gue kayak gini karena rasa bersalah gue lebih besar. Gue emang benci sama Dira dan ibunya. Ada sebersit keinginan gue buat hancurin mereka, tapi bukan ngebunuh Dira, Lang.”
Galang terhenyak mendengar Kiera berbicara seperti menyela ucapannya yang seolah sudah diketahui oleh Kiera.
Kiera menatap manik hitam Galang dengan lekat. Kemudian dia menundukkan kepala. “Dan maaf udah ngebuat orang yang lo sayangin dari kecil, Dira, sahabat lo itu udah jadi enggak ada.”
“Ki, gue udah bilang, kalo semua Tuhan yang ngatur dan ini takdir yang harus kita terima,” ujar Galang.
“Iya,” jawab Kiera pelan. “Dan seharusnya gue ikut Bunda. Di sini bukan dunia gue.”
Galang seketika mendengus. “Kenapa lo ngomong kayak gitu?”
“Yang sayang sama gue Cuma Bunda, Lang, bahkan Ayah enggak pernah perhatiin gue. Malah sibuk sama keluarga barunya.”
“Emang lo yakin, Cuma bunda lo yang sayang sama lo?”
Begitu menusuk. Galang mampu membuat Kiera terbungkam. Kiera bisa melihat Galang yang langsung terkekeh. Kiera yakin ada makna di balik ucapan Galang barusan. Wajah tampan cowok itu membuatnya jadi teringat kala dia pertama kali bertemu di karantina saat berhasil menjadi 30 finalis penyanyi berbakat Indonesia. Galang yang ketika itu meminta maaf padanya karena Dira telah mengejek suaranya yang pas-pasan. Dan sekarang mereka berada di tempat yang sama dengan suasana yang tegang.
“Ma-maksud lo siapa?”
Galang tersenyum. “Dira sebenarnya sayang sama lo, Ki. Walaupun dia kelihatan benci banget sama lo, tapi dia selalu sayang sama lo.”
Kiera tak yakin apa yang dikatakan Galang itu benar. Dia betul-betul benci dengan Dira. Namun mata Galang tidak memperlihatkan kebohongan apa pun. Pertahanan untuk tetap kukuh, membuat air mata Kiera kembali mengalir. Sungguh, dia begitu menyesal. Seseorang yang sangat dibencinya itu adalah orang yang menyayanginya.
“Gue makin nyesel, Lang.” Kiera membenamkan tubuh kecilnya ke dekapan Galang. Galang tak tahu harus bagaimana lagi. Kiera kini begitu rapuh dan memprihatinkan.
BRAKK
Galang dan Kiera tersentak ketika mendengar suara gebrakan dari luar. Setelah saling pandang untuk bertanya ada apa, Galang segera membuka pintu kamarnya. Wajahnya seketika menegang melihat apa yang terjadi.
“Lang, ada apa?” tanya Kiera lirih. Cewek itu melangkah dengan menyeret kakinya untuk mendekati Galang. Sama seperti Galang, wajahnya ikut menegang.
“Ayah! Apa yang ayah lakuin ke Mama?” pekik Kiera duduk bersimpuh dengan tiba-tiba. Dia tak dapat menahan air matanya ketika melihat wanita yang dipanggil mama olehnya itu tergeletak dengan darah yang mengucur dari pelipis.
“Ayah enggak tahu harus berbuat apa untuk nahan dia nyerang kamu selain seperti ini,” aku lelaki itu dengan nada yang sebisa mungkin didatarkan.
Galang melihat ayahnya itu tampak membuang muka. Ada sebersit rasa benci yang hadir untuk ayah kandungnya itu ketika bersikap seolah hal itu adalah kejadian biasa. Galang ikut bersimpuh dan memegang pergelangan tangan Nia untuk merasakan denyut nadi di sana.
“Dia udah meninggal.” Itu pengakuan lelaki paruh baya setelah Galang bisa merasakan tak ada denyut yang berdetak.
Kiera membeku mendengar luncuran nada tak bersalah dari ayahnya itu. Ayahnya betul-betul tega berbicara dan berbuat layaknya itu merupakan sebuah permainan uji nyali. Dia semakin memperkeras tangisnya. Namun bukan untuk kepergian seorang ibu tiri. Dia akhirnya mengetahui arti penyesalan sebenarnya.
“Saya tidak tahu harus menyesal atau enggak,” ayahnya berujar. Lelaki itu lalu memandang Galang. “Tapi, Lang, kamu harus menyesal karena mencintai adik tirimu sendiri.”
Lelaki itu akhirnya memilih pergi meninggalkan mereka tanpa berminat untuk sekadar menoleh.
“Lang, kadang, penyesalan bisa datang di awal, kan?” tanya Kiera. Lirihan ucapannya itu membuatnya seketika lemas karena harus mendengar bahwa sebenarnya dia tidak bertepuk sebelah tangan---yang seharusnya salah. []
 __________________________________________________________________________
 Cerita ini saya poskan sebagai apresiasi dalam mengikuti sebuah lomba menulis fiksi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar