Judul: Arti Sesal
Karya: Andhea
Kapasitas: 1365 karakter
Note: Didekasikan untuk para inspirator saat menulis cerita ini. Tiada kalimat yang terngiang untuk mengucapkan terima kasih kepada kalian.
***
Karya: Andhea
Kapasitas: 1365 karakter
Note: Didekasikan untuk para inspirator saat menulis cerita ini. Tiada kalimat yang terngiang untuk mengucapkan terima kasih kepada kalian.
***
HARI
sudah semakin siang dan para pelayat mulai berpencar untuk pulang. Terlihat
sepasang suami-istri bergeming di samping makam. Sang istri tampak menangis
tersedu-sedu seraya mengelus batu bertuliskan nama almarhumah. Wanita kisaran 40-an
itu dengan teganya berteriak meminta putrinya untuk pulang ke pelukannya dan
menyangkal bahwa kebenaran putrinya meninggal itu tidak nyata.
“Ma, jangan jadi seperti ini. Dira
udah enggak ada. Jangan usik dia kayak gini. Nanti dia enggak tenang.” Tampak
suaminya menenangkannya. Istrinya menggeleng dan kukuh untuk berteriak meminta
Dira untuk kembali.
Suaminya menghela napas sambil
mengelus bahu istrinya. Kemudian matanya beralih kepada dua anaknya yang
berdiri cukup jauh dari makam Dira. “Lang, kamu sama Kiera pulang duluan aja,”
ucapnya, melihat Kiera yang tampak memandang dengan kosong.
Galang mengangguk. Dia lalu
membimbing Kiera untuk beranjak. Namun cewek itu menggeleng dan tetap memandang
makam saudarinya dengan kosong.
“Ki. Yuk, kita pulang,” ajak Galang.
Kiera tetap bersikukuh untuk tinggal.
“Pulang, Ki. Kita enggak bisa
ngapa-ngapain lagi di sini. Papa udah nyuruh kita pulang.”
“Gue enggak mau pulang, Lang. Gue
masih belum bisa menebus kesalahan gue ke Dira,” jawab Kiera dengan lirih.
Galang terhenyak. Adik tirinya itu menangis lantas memeluk tubuh Galang. Galang
tak bisa apa-apa. Dengan tenang, dia mendengar setiap kata yang terucap dari
Kiera di sela-sela tangis. Kiera menyesal telah melempar gelas ke arah Dira dan
menyebabkan kepala Dira mengalami kebocoran lalu akhirnya meninggal dunia
setelah dirawat dua hari di rumah sakit.
“Penyesalan memang terjadi di akhir,
Ki. Dira udah ditakdirkan Tuhan untuk kembali kepada-Nya sebelum kita. Ini
memang kesalahan lo, tapi lo bukan Tuhan yang mengatur kehidupan,” ucap Galang.
Sembari mengelus punggung cewek itu, dia berbisik, “Kita pulang, ya.”
Kiera beringsut dari pelukan Galang.
Setelah menyeka air matanya, dia mengangguk setuju. Galang tersenyum lega
lantas merangkul bahu kecil cewek itu dan berbalik untuk pulang.
“Jangan kabur, Anak Pembunuh!”
Kiera tersentak. Itu suara ibu
tirinya dan menyelorohnya dengan sebutan Anak Pembunuh. Seketika rasa takut dan
bersalah kembali menyelimutinya. Kiera menoleh ke arah Galang. Di mana Galang
juga sama takutnya. Tapi cowok itu segera menggenggam tangan Kiera untuk
menguatkan.
“Dasar pembunuh yang enggak tahu
diri! Kamu harus dapat karma! Tega-teganya membunuh anakku!” seru ibu Dira
tersebut. Kiera dengan takut, berbalik badan juga dan dia dapat melihat wajah
merah padam dari ibunya itu.
“Nia, udah. Jangan terpancing
seperti itu!” tukas sang suami, menarik istrinya yang ingin melabrak Kiera.
“Dia udah ngebunuh Dira, Mas. Dia
udah ngebunuh saudaranya sendiri!” sangkal Nia tetap tak mau mengalah. “Memang sialan
ibunya itu!”
Kiera menjadi membeku mendengar Nia
yang kini mencaci maki ibunya yang sudah meninggal itu. Cewek itu semakin
membenci ibu tirinya yang mencemooh ibu kandungnya. Hatinya menjerit-jerit
menuduh Nia yang telah mengambil hati ayahnya dengan mengatakan hal yang tidak
baik tentang ibunya.
“Lang, cepat bawa Kiera pergi dari sini!” Sang
ayah lantas berseru dengan kedua tangannya yang menahan tubuh istrinya
tersebut.
Galang tak bisa berkata apa-apa
lagi. Dia memandang adik tirinya yang tampak mengatur napas dan memandang Nia
dengan tak suka. Segera tangan kekarnya mengalungi leher Kiera seraya berbisik,
“Kita pulang aja,” lalu menarik Kiera untuk menjauh.
***
Galang
menarik napas melihat pigura kecil di nakas. Sepasang remaja terpotret dengan
gaya konyol di sana. Itu dia dan Kiera, sebelum mengetahui bahwa mereka
terlahir biologis oleh satu ayah. Ibunya adalah istri pertama ayahnya.
Sayangnya, setelah ibunya melahirkan dirinya, ayahnya telah menikah dengan
wanita lain dan wanita itu sedang mengandung. Akhirnya ibunya dan ayahnya
bercerai.
Beberapa
tahun kemudian, istri kedua ayahnya meninggal dunia dan ayahnya menikah lagi
dengan seorang janda beranak satu. Galang yang saat itu ditinggal ibu dan
kakaknya untuk bekerja menjadi TKI di luar negeri, dititipkan kepada ayahnya.
Dia tak tahu bahwa dirinya masih memunyai ayah dan memunyai dua adik tiri.
Sebelum dia tinggal bersama ayahnya, dia sudah mengenal dua adik tirinya dengan
baik. Kiera dan Dira yang saling bermusuhan.
Entah,
kata apa yang tepat untuk gejolak di dirinya. Dia dan Dira adalah sepasang
sahabat semasa kecil. Sementara dengan Kiera... Galang segera menggelengkan
kepala mengusir gusar dan kalut yang tiba-tiba menghampiri. Dan tepat ketika
seseorang menyelonong masuk ke kamarnya sambil berteriak ketakutan.
“Galang,
tolongin gue!” pekik Kiera, mendekap tubuh Galang untuk bersembunyi.
“Nia,
udah! Kiera itu anak kamu! Dia udah minta maaf, lagian itu juga enggak sengaja.
Kenapa harus bawa-bawa nama polisi, sih?” Galang bisa mendengar ayahnya yang
mengomel kepada ibu tirinya.
“Walaupun
itu enggak sengaja, dia udah ngebunuh Dira, Mas. Udah ngebunuh anakku
satu-satunya,” terdengar suara serak yang selanjutnya menjadi lirih.
Galang
mengembuskan napasnya, tak tahu harus berbuat apa. Terlihat Kiera yang
menyembunyikan wajahnya di dekapannya tampak gemetar. Pintu kamar yang terbuka
itu lalu dia tutup. Kemudian dia membimbing Kiera untuk duduk di bibir ranjang.
Wajah dan mata cewek itu benar-benar tak sedap dipandang.
“Lo
berapa lama nangis, Ki?” tanya Galang setelah menyudahi keterkejutannya.
“Tiga
hari,” sahut Kiera pendek.
“Lang,
kalo lo mau ceramah, biarin gue ngomong, kalo gue kayak gini karena rasa
bersalah gue lebih besar. Gue emang benci sama Dira dan ibunya. Ada sebersit
keinginan gue buat hancurin mereka, tapi bukan ngebunuh Dira, Lang.”
Galang
terhenyak mendengar Kiera berbicara seperti menyela ucapannya yang seolah sudah
diketahui oleh Kiera.
Kiera
menatap manik hitam Galang dengan lekat. Kemudian dia menundukkan kepala. “Dan
maaf udah ngebuat orang yang lo sayangin dari kecil, Dira, sahabat lo itu udah
jadi enggak ada.”
“Ki,
gue udah bilang, kalo semua Tuhan yang ngatur dan ini takdir yang harus kita
terima,” ujar Galang.
“Iya,”
jawab Kiera pelan. “Dan seharusnya gue ikut Bunda. Di sini bukan dunia gue.”
Galang
seketika mendengus. “Kenapa lo ngomong kayak gitu?”
“Yang
sayang sama gue Cuma Bunda, Lang, bahkan Ayah enggak pernah perhatiin gue.
Malah sibuk sama keluarga barunya.”
“Emang
lo yakin, Cuma bunda lo yang sayang sama lo?”
Begitu
menusuk. Galang mampu membuat Kiera terbungkam. Kiera bisa melihat Galang yang
langsung terkekeh. Kiera yakin ada makna di balik ucapan Galang barusan. Wajah
tampan cowok itu membuatnya jadi teringat kala dia pertama kali bertemu di
karantina saat berhasil menjadi 30 finalis penyanyi berbakat Indonesia. Galang
yang ketika itu meminta maaf padanya karena Dira telah mengejek suaranya yang
pas-pasan. Dan sekarang mereka berada di tempat yang sama dengan suasana yang
tegang.
“Ma-maksud
lo siapa?”
Galang
tersenyum. “Dira sebenarnya sayang sama lo, Ki. Walaupun dia kelihatan benci
banget sama lo, tapi dia selalu sayang sama lo.”
Kiera
tak yakin apa yang dikatakan Galang itu benar. Dia betul-betul benci dengan
Dira. Namun mata Galang tidak memperlihatkan kebohongan apa pun. Pertahanan
untuk tetap kukuh, membuat air mata Kiera kembali mengalir. Sungguh, dia begitu
menyesal. Seseorang yang sangat dibencinya itu adalah orang yang menyayanginya.
“Gue
makin nyesel, Lang.” Kiera membenamkan tubuh kecilnya ke dekapan Galang. Galang
tak tahu harus bagaimana lagi. Kiera kini begitu rapuh dan memprihatinkan.
BRAKK
Galang
dan Kiera tersentak ketika mendengar suara gebrakan dari luar. Setelah saling
pandang untuk bertanya ada apa, Galang segera membuka pintu kamarnya. Wajahnya
seketika menegang melihat apa yang terjadi.
“Lang,
ada apa?” tanya Kiera lirih. Cewek itu melangkah dengan menyeret kakinya untuk
mendekati Galang. Sama seperti Galang, wajahnya ikut menegang.
“Ayah!
Apa yang ayah lakuin ke Mama?” pekik Kiera duduk bersimpuh dengan tiba-tiba.
Dia tak dapat menahan air matanya ketika melihat wanita yang dipanggil mama
olehnya itu tergeletak dengan darah yang mengucur dari pelipis.
“Ayah
enggak tahu harus berbuat apa untuk nahan dia nyerang kamu selain seperti ini,”
aku lelaki itu dengan nada yang sebisa mungkin didatarkan.
Galang
melihat ayahnya itu tampak membuang muka. Ada sebersit rasa benci yang hadir
untuk ayah kandungnya itu ketika bersikap seolah hal itu adalah kejadian biasa.
Galang ikut bersimpuh dan memegang pergelangan tangan Nia untuk merasakan
denyut nadi di sana.
“Dia
udah meninggal.” Itu pengakuan lelaki paruh baya setelah Galang bisa merasakan
tak ada denyut yang berdetak.
Kiera
membeku mendengar luncuran nada tak bersalah dari ayahnya itu. Ayahnya
betul-betul tega berbicara dan berbuat layaknya itu merupakan sebuah permainan
uji nyali. Dia semakin memperkeras tangisnya. Namun bukan untuk kepergian
seorang ibu tiri. Dia akhirnya mengetahui arti penyesalan sebenarnya.
“Saya
tidak tahu harus menyesal atau enggak,” ayahnya berujar. Lelaki itu lalu
memandang Galang. “Tapi, Lang, kamu harus menyesal karena mencintai adik tirimu
sendiri.”
Lelaki
itu akhirnya memilih pergi meninggalkan mereka tanpa berminat untuk sekadar
menoleh.
“Lang,
kadang, penyesalan bisa datang di awal, kan?” tanya Kiera. Lirihan ucapannya
itu membuatnya seketika lemas karena harus mendengar bahwa sebenarnya dia tidak
bertepuk sebelah tangan---yang seharusnya salah. []
__________________________________________________________________________
Cerita ini saya poskan sebagai apresiasi dalam mengikuti sebuah lomba menulis fiksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar