SEHARUSNYA,
ketika lonceng sekolah berdentang menandakan pelajaran terakhir usai, Sila
segera pulang sekolah. Namun,
langkah kakinya membawanya ke sebuah kafe. Cewek itu bukannya masuk ke dalam,
dia hanya tergugu di luar kafe.
Sekilas, dia melihat jam tangan warna birunya untuk mengetahui pukul berapa
sekarang lalu dia menghela napas. Waktu
menunjukkan pukul setengah tiga siang, dan sudah
setengah jam dia menguntit.
ZRASHH
Sila tersentak mendengar gemuruh
petir memekakan telinga. Dia masih berada di teras kafe dan ragu untuk masuk ke
dalam sekadar menghangatkan tubuh dengan secangkir latte panas. Namun,
dia takut jika dia ketahuan menguntit orang tanpa izin. Setelah
mempertimbangkan apa yang harus dia lakukan, akhirnya dia membuka pintu kaca kafe
itu. Harum berbagai jenis makanan menyeruak menyerbu hidungnya. Matanya
mengedarkan pandangan melihat dua orang yang dikuntitnya tengah bercanda ria.
Dengan matanya yang mengawasi, dia melangkah mengendap-endap untuk mencari meja
yang strategis untuk mengintip.
“Mbak, awas matanya nanti bintitan
gara-gara ngintipin orang.” Sila tersentak. Sebuah brosur yang dia gunakan
untuk meyembunyikan wajahnya terbuka dan dia langsung merasa cemas karena
penyamarannya terbongkar.
“Bima!” gertak Sila. “Lo ngagetin
gue aja. Kirain siapa.”
Sila mengelus dadanya bersyukur
karena yang memergokinya adalah temannya, Bima, anak pemilik kafe yang sedang
didatanginya itu. Bima terkekeh geli lalu duduk di depan Sila.
“Bima! Jangan nutupin, gih!” desis Sila, mendorong tubuh Bima
karena menutupi apa yang sedang cewek itu lihat.
Bima memutar matanya. “Belum puas
ngeliat Pak Cello di sekolah? Pake ngikutin sampe sini segala.”
“Hussh, ini rahasia kita berdua
aja.” Sila menaruh telunjuknya di bibir. “Gue cuma penasaran sama Kak Cello.
Ngapain dia sama pacarnya.” Ada nada tak suka yang terucap ketika Sila menyebut
‘pacar’.
“Lo yang naksir sama Pak Cello itu
bukan rahasia lagi. Satu sekolah, mah, pada tahu.” Bima menepuk tangannya,
memanggil pelayan. “Anak murid suka sama guru. Hello! Lo suka sama yang tua-tua?”
“Jasmine
tea ya, Mbak,” ujar Bima ketika seorang pelayan bertanya. “Sil, lo mau
mesen apa?”
“Latte
panas.”
Bima menyengir. “Nanti lo yang
bayar, ya?”
Seketika Sila mendengus. Teman satu
sekolah sekaligus teman sekelasnya itu memang menyebalkan. Memang iya, Pak
Cello, atau Sila yang
memanggilnya dengan Kak Cello mempunyai
umur delapan tahun lebih tua darinya. Cello adalah guru baru di sekolahnya yang
baru saja menyelesaikan sarjana pendidikan di Universitas Negeri Jakarta.
Pertama kali Sila bertemu Cello di ruang guru, dia sudah menaruh hati.
“Lagian Kak Cello enggak tua, kok.
Dia baru umur 22 tahun. Lagian juga bersanding dengan cowok yang lebih tua itu enggak
pa-pa kok. Kak Cello itu udah ganteng, baik, ramah, suami idaman gue banget dan
beruntung—”
“Dia udah punya pacar,” sela Bima
yang membuat Sila memelotot
tak suka.
“Jangan potong khayalan gue dengan
kenyataan!” Sila merengut. Dia kembali mengintip pasangan yang berjarak tiga
meja dari dirinya. “Eh, ngomong-ngomong gue ketahuan enggak, sih, sama mereka?”
Bima mengangkat bahunya. “For your information, kayaknya kafe ini
jadi tempat romantis mereka, deh. Tiap hari pacarannya ke sini mulu.”
“Kok lo tahu?”
“Gue tiap pulang sekolah ke sini! Lo
ke mana aja, Neng?” Karena Bima adalah putra pemilik kafe, Bima menjadi sering
ke kafe ayahnya demi menjalankan amanah untuk mengawasi suasana kafe pada sore
hari.
Sila meringis. Dia kemudian melirik
ke pasangan yang dia intip, tetapi matanya kemudian membelalak dan seketika
matanya tertutup oleh jari-jari tangan Bima.
“Bim, ngapain nutup mata gue?” pekik
Sila, mencoba melepaskan tangan Bima.
“Anak di bawah umur enggak boleh
lihat!”
Sila mendecak dan dia berhasil melepaskan
tangan Bima. “Lo juga di bawah umur, kali!”
“Kak Cello enggak malu apa diliatin banyak
orang gitu?” tanya Sila, menyadari bahwa pengunjung menoleh ke arah Cello dan
pacarnya.
“Mereka kayaknya enggak sadar.
Merasa tempat di ujung dan enggak diliatin orang, udah merasa aman aja.” Bima
berargumen, matanya tertuju pada Cello dan pacarnya dengan tatapan tak suka.
“Untung murid yang ngeliat cuma kita berdua aja. Gimana kalo ada yang ngeliat?
Bisa di-judge
sebagai guru yang enggak bisa ngedidik murid dengan ciuman di depan umum.”
“Di sini cuma kita aja yang pake
seragam sekolah, Bim,” gumam Sila. Kepalanya lalu disandarkan ke dinding dan dia termenung
Perlahan
Sila jadi tak bergairah. Dia lantas memandang ke luar jendela di mana hujan
deras menderai di sana. Dia yang yakin bahwa Cello akan mendampinginya sebagai
suaminya kelak, harus menerima bahwa orang disukainya itu sudah memiliki pacar
dan terlihat pria itu mencintainya. Sila baru dua kali merasakan apa itu jatuh
cinta. Cinta pertamanya waktu SD meninggal dunia karena tenggelam di pantai.
Dan ketika hati kembali mencintai, dia harus merasakan cinta bertepuk sebelah
tangan yang menyedihkan.
“Sil!”Sila
tersentak dari lamunannya. Dia memandang bingung dengan arahan mata Bima.
“Bengong gara-gara patah hati, ya? Tuh, minum dulu.”
Sila
lantas mengikuti arah mata Bima dan menemukan secangkir latte yang dari tadi dia idam-idamkan. Dia tak sadar bahwa minuman itu
sudah bergeming di meja dari tujuh menit yang lalu. Langsung saja, dia meraih
cangkir itu dan menyesap isinya dengan tenang.
“Gue
udah manggil lo berkali-kali tahu, Sil. Eh ternyata masih larut dalam
keterpakuan karena patah hati.” Bima terkekeh sembari menyesap cangkir jasmine tea-nya. “Lagian, kenapa
jatuhnya sama yang lebih tua. Tanggung risiko kalo udah punya pendamping.
Untung aja lo enggak suka sama yang udah punya anak.”
Sila mendelik mendengar sindiran dari Bima.
Bima menyebalkan dan mau anak itu apa? Pekik Sila dalam hati. “Tapi kalo udah
jatuhnya sama Kak Cello, mau gimana lagi?” lirihnya. Sila benar-benar terjebak
dalam cintanya.
Bima
membelalak. “Lo se...rius?”
Sila
mengangguk. Matanya menerawang. “Malah gue bercita-cita jadi istrinya.”
Mendengar
hal itu, tawa Bima menyembur ketika sedang menikmati sesapan tehnya. Sila
langsung melotot ketika semburan tawa Bima terciprat ke kemejanya.
“Bima!!”
Masih
dalam tawa, Bima berujar, “Lo mau nikah umur berapa?”
“Pengin
nikah pas umur 25 tahun. Emang kenapa?”
“Lo
tega biarin Pak Cello nungguin lo 11 tahun lagi cuma buat nikahin lo?” Bima
kembali tertawa. Tawa itu belum habis ketika Bima menarik tisu dan diserahkan
kepada Sila untuk membersihkan kemeja cewek itu sebagai permintaan maaf.
Sila
tertawa miris. “Lo udah dua kali potong fantasi gue dengan kenyataan.”
“Sil,
umur lo berapa, sih? Belum genap 14 tahun aja, pikirannya udah pengin nikah.
Lulus SMP aja belum. Masih ada SMA, terus kuliah, nyari kerja. Baru habis itu
mikirin nikah!” Bima terkikik geli lantas menimpuk kepala Sila dengan brosur
yang sempat digunakan Sila sebagai alat penyamaran.
Sila
merengut. “Gue baru nyadar, kalo lo dari tadi ngomongnya keras-keras. Kalo
objek pembicaraan kita denger, gimana?”
Tawa
Bima terhenti. Kepalanya tergerak untuk menoleh ke belakang di mana sepasang
yang mereka bicarakan tampak larut menikmati makanan sambil berbincang-bincang
mesra.
“Kayaknya enggak nyadar, deh,” sahut Bima.
Sila
memandang kosong ke arah pasangan itu. Pasangan itu sudah dewasa dan
sepantasnya berbicara tentang cinta. Dia dan Bima masih terlalu dini memikirkan
cinta yang sebenarnya. Dia masih harus mengejar mimpinya dengan belajar giat
setiap saat jika mau sukses kelak, mengerjakan tugas dengan baik dan fokus pada
satu tujuan. Memang banyak teman satu sekolahnya yang sudah berpacaran dan
kadang dia merasa terasing karena lebih memilih untuk menyendiri dan diam-diam
mengamati guru barunya. Yang jelas, dia adalah murid putih-biru yang masih
merasakan cinta monyet yang labil dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Sila
membuang pandangannya dari Cello ketika ponselnya berbunyi dan terdapat pesan
dari ibunya yang menyuruhnya segera pulang. Sila mengembuskan napas pelan-pelan
lalu mengamati Bima yang tengah tertawa terbahak-bahak ketika melihat
ponselnya.
“Sil,
lihat, deh. Ada quotes yang lo
banget.” Bima mengacungkan ponselnya ke arah Sila.
“Aduh,
sweet banget!”
Sila
belum sempat melihat apa yang ditunjukkan oleh Bima, sudah teralihkan pada
teriakan seorang pengunjung. Seketika mata Sila dan Bima tertuju pada objek
yang diteriaki.
Cello
tengah bersimpuh di lantai, lalu berdiri dalam duduknya. Mengulurkan sebuah
kotak berwarna merah kepada pacarnya dan semua orang tahu bahwa Cello sedang
menunjukkan sebuah cincin.
“Anin,
will you marry me?”
Bukan
pacar Cello, Anin,
saja yang terpaku. Tubuh Sila sudah membeku duluan melihat adegan lamaran
tersebut. Ingin rasanya dia menumpahkan tangisnya.
Bima
tak kalah terkejutnya ketika melihat itu. Dia meneguk ludahnya tak percaya. Dia
tahu bahwa ada seseorang yang tambah
patah hati. “Si...la?” Bima segera menoleh ke arah Sila untuk mendengar
tanggapan cewek itu.
“Mereka
cocok, ya. Semoga aja, ketika mereka menikah nanti, mereka bisa langgeng.” Bima
mengira kata-kata kecewa dan patah hati yang terlontar dari mulut Sila. Dia tak
menyangka akan mendengar ucapan sok tegar dari cewek itu.
“Lo
enggak nangis?” Sialnya, Bima malah bertanya seperti itu.
“Siapa
yang nangis? Gue enggak secengeng itu cuma gara patah hati—walaupun baru kali
ini gue ngerasain. Yah, mungkin Pak Cello bukan takdir gue kali, ya?”
“Kok
gue baru sadar kalo lo enggak manggil ‘Kak’ lagi.”
PLUKK
Sila
menimpuk kepala Bima. Memang, Sila enggan untuk memanggil Cello dengan Pak,
melainkan dengan ‘Kak’. Baru kali ini Bima melihat perubahan move on yang sebegitu cepatnya.
“Kan,
gue mau move on dan jangan bikin niat
gue gagal. Lagian gue harus fokus tentang masa depan gue. Gue bakal jadi apa,
ya?” Sila tampak menerawangkan masa depannya diiringi suara hujan yang
menenangkan.
Bima
ikut-ikutan menerawang. “Iya, bakal jadi apa kita nanti di masa depan.”
Sila
langsung terbuyarkan ketika mendengar kata kita.
Dia tidak peka, tapi dia tahu ada objek lain di balik kita.
“Kita?”
Bima
mengangguk. “Maksudnya apaan dengan kita?”
“Lo
dan gue,” sahut Bima dengan cepat. Dia takut jika ekspresinya ketahuan oleh
Sila. Sila mengerutkan dahi melihat perubahan ekspresi dari Bima.
“Hei
kalian yang dari tadi ngintipin kami!”
Sila
dan Bima sama-sama menoleh ke sumber suara. Ada Cello dan Anin yang terkikik
geli.
“Eh,”
Sila jadi gelagapan. “Emang dari tadi merhatiin kita yang ngintipin Bapak, ya?”
Cello
menggelengkan kepala. “Penyamaran kalian itu mudah ketebak. Kalian juga jadi
pusat perhatian pengunjung gara-gara tingkah kalian itu.” Cello lantas tertawa
diikuti Anin.
Sila
dan Bima menjadi salah tingkah karena ternyata penyamaran mereka terbongkar.
Kelakuan mereka pun menjadi sorotan pengunjung. Sila bisa melihat ada salah
satu pengunjung memandang mereka dengan terkikik. Aduhai, betapa malu dirinya.
“Ya
udah, kita pulang dulu, ya? Rajin belajar, jangan suka ngegosipin orang!
Ngegosipinnya sampai ke telinga orangnya lagi.” Cello lantas berpamitan dengan
pesan menyindir lalu memandang Sila penuh arti. Tampak dagu tirus pria itu
mengedik ke arah Bima.
“Udah
sore. Anterin Sila pulang dulu sana, Bim.” Cello terkekeh lalu pergi bersama
calon istrinya.
“Nganterin
gue pulang?” Sila tampak sibuk menyerap ucapan Cello. Lalu dia melirik jam
tangannya. “Waduh, jam empat!”
“Bim,”
panggilan Sila terhenti ketika mengerti maksud Cello.
“Kenapa?”
Sila
bergeming dan menatap hujan yang masih mengguyur deras. Dia menjadi khawatir
dengan pasangan tadi. Sepertinya mereka tengah kehujanan karena nekat untuk
pulang di sela-sela tumpahan dari langit belum mereda. Pikirannya pun
berkelana.
Iya, dirinya masih
sangat muda untuk mengenal cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar