Selasa, 06 Maret 2018

Cerpen: Masih Terlalu Muda



SEHARUSNYA, ketika lonceng sekolah berdentang menandakan pelajaran terakhir usai, Sila segera pulang sekolah. Namun, langkah kakinya membawanya ke sebuah kafe. Cewek itu bukannya masuk ke dalam, dia hanya tergugu di luar kafe. Sekilas, dia melihat jam tangan warna birunya untuk mengetahui pukul berapa sekarang lalu dia menghela napas. Waktu menunjukkan pukul setengah tiga siang, dan sudah setengah jam dia menguntit.
            ZRASHH
            Sila tersentak mendengar gemuruh petir memekakan telinga. Dia masih berada di teras kafe dan ragu untuk masuk ke dalam sekadar menghangatkan tubuh dengan secangkir latte panas. Namun, dia takut jika dia ketahuan menguntit orang tanpa izin. Setelah mempertimbangkan apa yang harus dia lakukan, akhirnya dia membuka pintu kaca kafe itu. Harum berbagai jenis makanan menyeruak menyerbu hidungnya. Matanya mengedarkan pandangan melihat dua orang yang dikuntitnya tengah bercanda ria. Dengan matanya yang mengawasi, dia melangkah mengendap-endap untuk mencari meja yang strategis untuk mengintip.
            “Mbak, awas matanya nanti bintitan gara-gara ngintipin orang.” Sila tersentak. Sebuah brosur yang dia gunakan untuk meyembunyikan wajahnya terbuka dan dia langsung merasa cemas karena penyamarannya terbongkar.
            “Bima!” gertak Sila. “Lo ngagetin gue aja. Kirain siapa.”
            Sila mengelus dadanya bersyukur karena yang memergokinya adalah temannya, Bima, anak pemilik kafe yang sedang didatanginya itu. Bima terkekeh geli lalu duduk di depan Sila.
            “Bima! Jangan nutupin, gih!” desis Sila, mendorong tubuh Bima karena menutupi apa yang sedang cewek itu lihat.
            Bima memutar matanya. “Belum puas ngeliat Pak Cello di sekolah? Pake ngikutin sampe sini segala.”
            “Hussh, ini rahasia kita berdua aja.” Sila menaruh telunjuknya di bibir. “Gue cuma penasaran sama Kak Cello. Ngapain dia sama pacarnya.” Ada nada tak suka yang terucap ketika Sila menyebut ‘pacar’.
            “Lo yang naksir sama Pak Cello itu bukan rahasia lagi. Satu sekolah, mah, pada tahu.” Bima menepuk tangannya, memanggil pelayan. “Anak murid suka sama guru. Hello! Lo suka sama yang tua-tua?”
            Jasmine tea ya, Mbak,” ujar Bima ketika seorang pelayan bertanya. “Sil, lo mau mesen apa?”
            Latte panas.”
            Bima menyengir. “Nanti lo yang bayar, ya?”
            Seketika Sila mendengus. Teman satu sekolah sekaligus teman sekelasnya itu memang menyebalkan. Memang iya, Pak Cello, atau Sila yang memanggilnya dengan Kak Cello mempunyai umur delapan tahun lebih tua darinya. Cello adalah guru baru di sekolahnya yang baru saja menyelesaikan sarjana pendidikan di Universitas Negeri Jakarta. Pertama kali Sila bertemu Cello di ruang guru, dia sudah menaruh hati.
            “Lagian Kak Cello enggak tua, kok. Dia baru umur 22 tahun. Lagian juga bersanding dengan cowok yang lebih tua itu enggak pa-pa kok. Kak Cello itu udah ganteng, baik, ramah, suami idaman gue banget dan beruntung—”
            “Dia udah punya pacar,” sela Bima yang membuat Sila memelotot tak suka.
            “Jangan potong khayalan gue dengan kenyataan!” Sila merengut. Dia kembali mengintip pasangan yang berjarak tiga meja dari dirinya. “Eh, ngomong-ngomong gue ketahuan enggak, sih, sama mereka?”
            Bima mengangkat bahunya. “For your information, kayaknya kafe ini jadi tempat romantis mereka, deh. Tiap hari pacarannya ke sini mulu.”
            “Kok lo tahu?”
            “Gue tiap pulang sekolah ke sini! Lo ke mana aja, Neng?” Karena Bima adalah putra pemilik kafe, Bima menjadi sering ke kafe ayahnya demi menjalankan amanah untuk mengawasi suasana kafe pada sore hari.
            Sila meringis. Dia kemudian melirik ke pasangan yang dia intip, tetapi matanya kemudian membelalak dan seketika matanya tertutup oleh jari-jari tangan Bima.
            “Bim, ngapain nutup mata gue?” pekik Sila, mencoba melepaskan tangan Bima.
            “Anak di bawah umur enggak boleh lihat!”
            Sila mendecak dan dia berhasil melepaskan tangan Bima. “Lo juga di bawah umur, kali!”
             “Kak Cello enggak malu apa diliatin banyak orang gitu?” tanya Sila, menyadari bahwa pengunjung menoleh ke arah Cello dan pacarnya.
            “Mereka kayaknya enggak sadar. Merasa tempat di ujung dan enggak diliatin orang, udah merasa aman aja.” Bima berargumen, matanya tertuju pada Cello dan pacarnya dengan tatapan tak suka. “Untung murid yang ngeliat cuma kita berdua aja. Gimana kalo ada yang ngeliat? Bisa di-judge sebagai guru yang enggak bisa ngedidik murid dengan ciuman di depan umum.”
            “Di sini cuma kita aja yang pake seragam sekolah, Bim,” gumam Sila. Kepalanya lalu disandarkan ke dinding dan dia termenung
Perlahan Sila jadi tak bergairah. Dia lantas memandang ke luar jendela di mana hujan deras menderai di sana. Dia yang yakin bahwa Cello akan mendampinginya sebagai suaminya kelak, harus menerima bahwa orang disukainya itu sudah memiliki pacar dan terlihat pria itu mencintainya. Sila baru dua kali merasakan apa itu jatuh cinta. Cinta pertamanya waktu SD meninggal dunia karena tenggelam di pantai. Dan ketika hati kembali mencintai, dia harus merasakan cinta bertepuk sebelah tangan yang menyedihkan.
“Sil!”Sila tersentak dari lamunannya. Dia memandang bingung dengan arahan mata Bima. “Bengong gara-gara patah hati, ya? Tuh, minum dulu.”
Sila lantas mengikuti arah mata Bima dan menemukan secangkir latte yang dari tadi dia idam-idamkan. Dia tak sadar bahwa minuman itu sudah bergeming di meja dari tujuh menit yang lalu. Langsung saja, dia meraih cangkir itu dan menyesap isinya dengan tenang.
“Gue udah manggil lo berkali-kali tahu, Sil. Eh ternyata masih larut dalam keterpakuan karena patah hati.” Bima terkekeh sembari menyesap cangkir jasmine tea-nya. “Lagian, kenapa jatuhnya sama yang lebih tua. Tanggung risiko kalo udah punya pendamping. Untung aja lo enggak suka sama yang udah punya anak.”
 Sila mendelik mendengar sindiran dari Bima. Bima menyebalkan dan mau anak itu apa? Pekik Sila dalam hati. “Tapi kalo udah jatuhnya sama Kak Cello, mau gimana lagi?” lirihnya. Sila benar-benar terjebak dalam cintanya.
Bima membelalak. “Lo se...rius?”
Sila mengangguk. Matanya menerawang. “Malah gue bercita-cita jadi istrinya.”
Mendengar hal itu, tawa Bima menyembur ketika sedang menikmati sesapan tehnya. Sila langsung melotot ketika semburan tawa Bima terciprat ke kemejanya.
“Bima!!”
Masih dalam tawa, Bima berujar, “Lo mau nikah umur berapa?”
“Pengin nikah pas umur 25 tahun. Emang kenapa?”
“Lo tega biarin Pak Cello nungguin lo 11 tahun lagi cuma buat nikahin lo?” Bima kembali tertawa. Tawa itu belum habis ketika Bima menarik tisu dan diserahkan kepada Sila untuk membersihkan kemeja cewek itu sebagai permintaan maaf.
Sila tertawa miris. “Lo udah dua kali potong fantasi gue dengan kenyataan.”
“Sil, umur lo berapa, sih? Belum genap 14 tahun aja, pikirannya udah pengin nikah. Lulus SMP aja belum. Masih ada SMA, terus kuliah, nyari kerja. Baru habis itu mikirin nikah!” Bima terkikik geli lantas menimpuk kepala Sila dengan brosur yang sempat digunakan Sila sebagai alat penyamaran.
Sila merengut. “Gue baru nyadar, kalo lo dari tadi ngomongnya keras-keras. Kalo objek pembicaraan kita denger, gimana?”
Tawa Bima terhenti. Kepalanya tergerak untuk menoleh ke belakang di mana sepasang yang mereka bicarakan tampak larut menikmati makanan sambil berbincang-bincang mesra.
 “Kayaknya enggak nyadar, deh,” sahut Bima.
Sila memandang kosong ke arah pasangan itu. Pasangan itu sudah dewasa dan sepantasnya berbicara tentang cinta. Dia dan Bima masih terlalu dini memikirkan cinta yang sebenarnya. Dia masih harus mengejar mimpinya dengan belajar giat setiap saat jika mau sukses kelak, mengerjakan tugas dengan baik dan fokus pada satu tujuan. Memang banyak teman satu sekolahnya yang sudah berpacaran dan kadang dia merasa terasing karena lebih memilih untuk menyendiri dan diam-diam mengamati guru barunya. Yang jelas, dia adalah murid putih-biru yang masih merasakan cinta monyet yang labil dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Sila membuang pandangannya dari Cello ketika ponselnya berbunyi dan terdapat pesan dari ibunya yang menyuruhnya segera pulang. Sila mengembuskan napas pelan-pelan lalu mengamati Bima yang tengah tertawa terbahak-bahak ketika melihat ponselnya.
“Sil, lihat, deh. Ada quotes yang lo banget.” Bima mengacungkan ponselnya ke arah Sila.
“Aduh, sweet banget!”
Sila belum sempat melihat apa yang ditunjukkan oleh Bima, sudah teralihkan pada teriakan seorang pengunjung. Seketika mata Sila dan Bima tertuju pada objek yang diteriaki.
Cello tengah bersimpuh di lantai, lalu berdiri dalam duduknya. Mengulurkan sebuah kotak berwarna merah kepada pacarnya dan semua orang tahu bahwa Cello sedang menunjukkan sebuah cincin.
“Anin, will you marry me?
Bukan pacar Cello, Anin, saja yang terpaku. Tubuh Sila sudah membeku duluan melihat adegan lamaran tersebut. Ingin rasanya dia menumpahkan tangisnya.
Bima tak kalah terkejutnya ketika melihat itu. Dia meneguk ludahnya tak percaya. Dia tahu bahwa ada seseorang yang tambah patah hati. “Si...la?” Bima segera menoleh ke arah Sila untuk mendengar tanggapan cewek itu.
“Mereka cocok, ya. Semoga aja, ketika mereka menikah nanti, mereka bisa langgeng.” Bima mengira kata-kata kecewa dan patah hati yang terlontar dari mulut Sila. Dia tak menyangka akan mendengar ucapan sok tegar dari cewek itu.
“Lo enggak nangis?” Sialnya, Bima malah bertanya seperti itu.
“Siapa yang nangis? Gue enggak secengeng itu cuma gara patah hati—walaupun baru kali ini gue ngerasain. Yah, mungkin Pak Cello bukan takdir gue kali, ya?”
“Kok gue baru sadar kalo lo enggak manggil ‘Kak’ lagi.”
PLUKK
Sila menimpuk kepala Bima. Memang, Sila enggan untuk memanggil Cello dengan Pak, melainkan dengan ‘Kak’. Baru kali ini Bima melihat perubahan move on yang sebegitu cepatnya.
“Kan, gue mau move on dan jangan bikin niat gue gagal. Lagian gue harus fokus tentang masa depan gue. Gue bakal jadi apa, ya?” Sila tampak menerawangkan masa depannya diiringi suara hujan yang menenangkan.
Bima ikut-ikutan menerawang. “Iya, bakal jadi apa kita nanti di masa depan.”
Sila langsung terbuyarkan ketika mendengar kata kita. Dia tidak peka, tapi dia tahu ada objek lain di balik kita.
Kita?”
Bima mengangguk. “Maksudnya apaan dengan kita?”
“Lo dan gue,” sahut Bima dengan cepat. Dia takut jika ekspresinya ketahuan oleh Sila. Sila mengerutkan dahi melihat perubahan ekspresi dari Bima.
“Hei kalian yang dari tadi ngintipin kami!”
Sila dan Bima sama-sama menoleh ke sumber suara. Ada Cello dan Anin yang terkikik geli.
“Eh,” Sila jadi gelagapan. “Emang dari tadi merhatiin kita yang ngintipin Bapak, ya?”
Cello menggelengkan kepala. “Penyamaran kalian itu mudah ketebak. Kalian juga jadi pusat perhatian pengunjung gara-gara tingkah kalian itu.” Cello lantas tertawa diikuti Anin.
Sila dan Bima menjadi salah tingkah karena ternyata penyamaran mereka terbongkar. Kelakuan mereka pun menjadi sorotan pengunjung. Sila bisa melihat ada salah satu pengunjung memandang mereka dengan terkikik. Aduhai, betapa malu dirinya.
“Ya udah, kita pulang dulu, ya? Rajin belajar, jangan suka ngegosipin orang! Ngegosipinnya sampai ke telinga orangnya lagi.” Cello lantas berpamitan dengan pesan menyindir lalu memandang Sila penuh arti. Tampak dagu tirus pria itu mengedik ke arah Bima.
“Udah sore. Anterin Sila pulang dulu sana, Bim.” Cello terkekeh lalu pergi bersama calon istrinya.
“Nganterin gue pulang?” Sila tampak sibuk menyerap ucapan Cello. Lalu dia melirik jam tangannya. “Waduh, jam empat!”
“Bim,” panggilan Sila terhenti ketika mengerti maksud Cello.
“Kenapa?”
Sila bergeming dan menatap hujan yang masih mengguyur deras. Dia menjadi khawatir dengan pasangan tadi. Sepertinya mereka tengah kehujanan karena nekat untuk pulang di sela-sela tumpahan dari langit belum mereda. Pikirannya pun berkelana.
Iya, dirinya masih sangat muda untuk mengenal cinta.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar