“Saat kamu kehilangan arah dan
jiwa, kamu harus percaya, ada seseorang yang dikirim
Tuhan untuk menemani hari sepimu.”
Hujan perlahan merinaikan rintikan
kisahnya. Angin bergelut dengan hujan menyerbu sekian detik menimbulkan suara
pekikan guntur menggelegar. Sayup-sayup suara adzan dzuhur terdengar kala gadis
itu menelengkan kepalanya memandang pisau dapur yang tergeletak begitu saja di
dekat kompor. Tak ia hiraukan panggilan merdu dari-Nya alih-alih mengambil
pisau itu dan menggoreskan ke nadi tangan kirinya.
Bau anyir kian bertambah kala remaja itu
kembali menggoreskan pisau dapur ke tangan kirinya. Berkali-kali. Dan
berkali-kali darah mengucur seiring bau anyir menyertai. Gadis itu tak peduli
terhadap tangannya yang sudah mengeluarkan banyak darah, bahkan terhadap
pisaunya yang sudah berkilatan darah segar. Yang gadis itu pikirkan adalah ia
harus mengakhiri segera.
“Kenapa?! Kenapa?!” Suara lirih nan
kasarnya terdengar. Gadis itu beringsut sambil memegang pergelangan tangannya,
bersimpuh diri sembari memberontak.
Belum puas, gadis yang masih memakai
seragam putih abu-abu itu segera merogoh ranselnya mencari sesuatu. Setelah
berhasil menemukan sebuah alat suntik, ia cepat-cepat memberi obat dan
menyuntiknya di lengan yang ia sabet dengan pisau.
Perih, tentu saja. Gadis itu kembali
mencengkeram pergelangan tangannya menahan perih itu. Namun apa daya, ia
terjatuh, dadanya begitu sesak, sekujur tubuhnya kejang-kejang dan matanya
membelalak. Ceceran darah segar itu menyebar di penjuru dapur. Bau anyir kian
meresap indera pencium, sementara gadis itu kehilangan setengah kesadarannya.
“Hera!” suara panik memanggil dirinya,
masih terdengar di telinga. Gadis itu bergeming kendatinya ia sedang mengatur
napasnya.
“Ya Allah. Hera, kenapa bisa kayak gini,
sih?” setelah mendengar ucapan itu, ia merasa tubuhnya diangkat dan ia tak bisa
merasakan apapun lagi. Gelap.
^^^
Pemuda itu melangkah dengan langkah cepat
tak berirama di sepanjang koridor rumah sakit, melangkah dengan terburu-buru.
Seragam SMA-nya sudah lepas berganti pakaian kasual dan di wajahnya masih ada
bekas air wudhu shalat ashar beberapa menit lalu.
Pemuda itu berhenti di ruangan nomor 072. Ia menarik napasnya sesaat dan segera
mengangkat tangannya untuk membuka pintu. Setelah membuka sedikit, ia urung
memasuki ruangan itu, alih-alih terpaku kala menemukan orang tua gadis yang
akan ia jenguk sedang berbincang dengan sang dokter.
“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?
Bagaimana keadaan Hera?” begitulah pertanyaan dari sang ibu yang pemuda itu
dengar dari luar.
“Hera hampir saja kehabisan darah. Untung
saja kami masih punya stok golongan darah O, sehingga Hera masih bisa bertahan
walaupun keadaannya masih lemah.”
“Tapi tangannya luka, Dok. Saya takut dia
terkena penyakit yang...” ayah Hera tak melanjutkan ucapannya, dan berharap
dokter yang memeriksa Hera mengerti.
Dokter itu mengangguk mengerti, “Masalah
penyakit kita serahkan pada Tuhan, semoga tak ada penyakit mematikan yang
mengidap di tubuh Hera,” terang Dokter itu tenang. “Dan saya sarankan, setelah
Hera sudah merasa baikan, bawalah dia ke psikiater. Siapa tahu dia bermasalah
dengan psikologisnya sehingga menyebabkan Hera harus menyabet lengannya dengan
pisau. Baiklah saya permisi dulu.”
Dokter itu keluar dari ruangan. Kala
matanya bertemu dengan mata tajam sang pemuda yang berdiri di depan pintu,
Dokter itu mengangguk sambil tersenyum kemudian berlalu.
Pemuda itu termenung mendengar ucapan
Dokter tadi, bahkan saat Dokter itu mengangguk padanya, ia tidak acuhkan.
Pikirannya melayang pada Hera yang di dalam sana sedang tak sadarkan diri.
Pintu kembali terbuka dan menampakkan
sepasang suami-istri – orang tua Hera – yang terlihat muram. Sang ibu lalu
melangkah menuju kursi tunggu dan menangis sesenggukan. Pemuda itu memandang
cukup lama wanita itu lantas mengembuskan napasnya.
“Arel,” panggil ayah Hera kepada pemuda itu
– Arel. Arel segera menoleh dan mengangguk mengiyakan. “Makasih sudah membawa
Hera ke sini.”
Arel tersenyum tipis. “Iya, Om, sama-sama.
Untung aja Hera masih bisa diselamatin.” Ada kelegaan sekaligus ketegangan di
sana.
Tiba-tiba saja ponsel dari saku celana ayah
Hera berbunyi. Pria itu segera mengangkatnya dan memilih untuk menghindar
sebentar. Sementara sang ibu masih sesenggukan. Arel menatap kedua orang tua
Hera dengan ragu. Ia ingin segera mendatangi Hera, memberi semangat pada gadis
itu, namun sisi lain kedilemaan untuk meninggalkan ibu Hera – yang membutuhkan
teman untuk menemaninya – juga berat.
Andai
saja mereka tidak berpisah, pikir Arel kalut.
“Rel,” panggil ibu Hera lirih. “Kenapa Hera
bisa seperti itu?”
Arel tak segera menjawab. Benaknya kembali
bermain dan memunculkan seorang gadis sedang tersenyum riang, tertawa,
tersenyum malu sehingga pipinya memerah, marah, ngambek, manja, dan berbagai
ekspresi lainnya yang membuat Arel tersenyum tanpa sadar. Namun ekspresi itu
kini berganti dengan gadis yang menatap dengan tatapan bengis, dendam, hancur,
dan tajam. Arel segera menggelengkan kepalanya berusaha mengusir benak-benaknya
itu.
“Arel juga nggak tahu. Arel kangen Hera
yang dulu,” lirih Arel tertunduk. Padahal, pemuda itu tahu mengapa Hera
berubah.
“Saya harus kembali ke kantor. Ada meeting.” Tiba-tiba ayah Hera mendekat
lalu segera berlalu dengan terburu-buru.
Arel tersenyum miris. Bahkan saat anaknya hampir mati, tetap pekerjaan yang paling penting.
Ibu Hera nampak tak mengacuhkan kepergian
pria itu. Wanita paruh baya itu menatap nanar dari balik pintu transparan,
menatap sang anak yang sedang tertidur lelap di sana.
“Tante, Tante udah shalat?”
Ibu Hera tersentak mendapat pertanyaan itu.
Ia cepat-cepat menyeka sisa air mata di mata sembabnya itu, lalu bertanya,
“Kamu udah shalat?”
Arel mengangguk, “Udah. Barusan.”
Ibu Hera melirik jam tangan. Waktu
menunjukkan shalat ashar. Wanita karier itu menghela napas sebentar. “Tante
shalat dulu, ya? Tolong temenin Hera, ya?”
Arel kembali mengangguk. Matanya terulur
pada Hera kemudian menyambut kepergian ibu Hera.
“Arel.” Saat Arel akan membuka pintu
ruangan, ibu Hera memandangnya dengan memohon dan tanpa suara, ia berkata,
“tolong.”
Arel terenyak sebentar melihat wajah begitu
ingin meminta tolong padanya. Lalu kemudian Arel tersadar, bahwa wanita itu
memintanya untuk menemani hari-hari kabut sang anak yang hampir direnggut
kematian itu. Arel memantapkan hati untuk menanggung tugas itu.
Lalu kemudian, Arel membuka pintu ruangan
Hera dirawat. Atmosfer asing dan bau obat-obatan menyergap Arel. Arel melangkah
pelan mendekati Hera yang berbaring seolah tak ada beban padahal nyatanya beban
buruk ditanggung gadis itu.
Arel enggan untuk mengelus rambut
berantakan Hera. Ia hanya bergeming, duduk di sisi ranjang sambil memperhatikan
wajah polos Hera.
Melihat ekspresi – seolah tak ada beban –
itu, membuat Arel kembali bermemoar saat ia dan Hera bermain bersama waktu di playground. Di samping mereka ditemani
ibu masing-masing yang saling bercengkerama. Lalu mereka tumbuh menjadi murid
SD yang saling bertengkar, tanda saling menyayangi. Berlanjut ke masa SMP, saat
Arel yang menjabat sebagai ketua OSIS dan Hera yang menjadi sekretarisnya.
Mereka bagai tak terpisah, karena ketua OSIS dan sekretaris tak pernah absen
menghadiri rapat berdua.
Kala mereka menginjak kelas 10, selama dua
bulan menjadi murid SMA, Hera masih tetap sama, gadis periang dan cerewet yang
manja pada Arel. Namun bulan berikutnya, tiba-tiba Hera menghindari Arel. Gadis
itu menjadi penyendiri dan selalu menjadi bahan bully-an para kaum hawa yang centil-centil. Awalnya Arel mengira
bahwa Hera menghindarinya karena intimidasi dari Renaya yang menyuruh gadis itu
jauh-jauh darinya. Dan kendatinya juga, saat Arel mendekati Hera, Hera menyuruh
Arel pergi dari hadapannya.
Namun, sikap Hera itu terbongkar juga, kala
Arel mengetahui bahwa kedua orangtua Hera bercerai saat kenaikan kelas sebelas.
Titik mula yang membuat Hera berubah jadi sinis dan dingin adalah saat kedua
orang tuanya bertengkar hebat, sehingga psikologis Hera tertekan. Arel miris
mengingatnya. Dan tadi ia menemukan sahabatnya itu, hampir sakaratul maut.
Hera perlahan membuka matanya. Ia
mengerjap-erjapkan matanya berusaha terbiasa dengan cahaya lampu yang memendar.
Melihat itu, Arel tersenyum sumringah.
“Kenapa gue harus kebangun lagi?” itu
ucapan Hera pertama kali saat gadis itu terbangun yang membuat Arel terenyak.
Hera segera mendudukkan dirinya. Pandangan
matanya seketika menjadi liar. Ia segera berusaha melepas infus yang terpasang
di tangan kirinya, dan itu membuat Arel menjadi awas dan berusaha menghalau
Hera untuk tidak melakukan tindakan tersebut.
“Kamu mau ngapain?” tanya Arel terus
menghalangi niat sahabatnya itu.
Hera berteriak frustasi, “Ngapain lo
halangin gue? Ngapain?”
Hera terus berteriak dan keukeuh untuk
menarik infus itu. Sementara Arel tetap bertahan bahkan saat Hera menggigit
tangannya untuk menyuruh menghindar.
Cepat-cepat Arel menekan tombol pemanggil
suster yang berada di sisi dinding.
“Suster, cepat datang!” mohon Arel tetap bersikap panik.
Tak lama kemudian, dua suster datang. Arel
menyuruh dua suster itu untuk segera bertindak.
Hera masih berteriak. Arel tetap berusaha
membuat Hera tenang dan tidak berbuat konyol dengan membisik lirih ke telinga
Hera, “Astaghfirullahazhim,” berulang kali.
Salah satu suster lalu memberi obat bius
lewat suntikan pada tangan Hera. Sehingga lolongan dan jeritan dari gadis itu
perlahan senyap. Hera kembali tidur dan Arel membaringkan tubuh ringkih
sahabatnya itu.
Setelah berterimakasih pada dua suster itu,
Arel baru bisa bernapas lega. Dipandanginya wajah Hera sambil tersenyum tipis
lantas ia duduk kembali. Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi dan ia mendapat
pesan dari ibu Hera bahwa ia ada urusan kantor yang harus segera diselesaikan.
Arel memasuki ponselnya ke saku celana
sambil mengembuskan napasnya kasar. Ia mengumpat kecil mengatakan bahwa mereka
adalah orang tua tak tahu diri.
“Hera, kenapa kamu berubah begini? Arel
kangen Hera yang dulu,” itu lirihan pemuda 16 tahun.
Sayup-sayup terdengar suara adzan
berkumandang. Arel dengan sigap berdiri dari duduknya dan menerawang pada tirai
jendela, dimana suara panggilan-Nya terdengar. Arel melirik Hera lalu mengulum
senyum tipis.
“Aku shalat maghrib dulu, ya, Her,” pamit
Arel. “Setelah shalat isya, aku temenin lagi.”
Tak ada jawaban dari Hera, dan itu membuat
Arel mengecam dirinya bodoh karena sebenarnya ia tahu bahwa Hera sedang tak
sadarkan diri. Arel menghela napas lalu melangkah sunyi meninggalkan Hera.
Tak ada yang tahu, bahwa dibalik tak
sadarkan diri, setetes air jatuh dari pelupuk mata Hera.
^^^
Pagi menjelang. Arel melangkah keluar dari
kamar 072 dengan panik, kala menemukan Hera sudah tak ada disana. Pemuda itu
segera bertanya pada suster yang lewat mengenai raibnya Hera. Suster itu
mengatakan bahwa Hera sedang menghirup udara segar semenjak setengah jam yang
lalu di taman.
Arel cepat-cepat melangkahkan kakinya
menuju taman rumah sakit. Baju kasual birunya penuh peluh karena pemuda itu
berlari selepas shalat subuh menuju rumah sakit hanya untuk menemani Hera.
Kebetulan hari minggu jadi ia bisa lepas dari berbagai angka dan kalimat
saintif yang menggerubungi otaknya. Namun cuaca yang terjadi tak mendukung.
Mentari tampak malu-malu memendarkan cahayanya alih-alih bersembunyi dibalik
awan abu-abu yang pekat.
“Ngapain lo berdua peduli sama gue, hah?”
Suara cempreng nan memberontak membuat
langkah kaki Arel terhenti kala ia akan menginjak rumput basah muasal embun
bertandang itu. Pandangannya seketika mendapati seorang gadis berkursi roda
yang sedang mengamuk kepada dua orang suster yang nampak menenangi.
“Hera...” hanya itu yang digumamkan Arel
melihat tingkah gadis di kursi roda itu. Segera Arel melangkah mendekat dengan
mantap.
“Itu kenapa orang gila bisa dirawat di
rumah sakit ini, sih?” bisik-bisik menghina dari beberapa pengunjung terdengar
oleh Arel. Arel segera melemparkan tatapan tajam, lalu menarik napas panjang
untuk menahan emosinya. Jika ia tak punya hati, ia akan berkata demikian kepada
Hera.
Arel cepat-cepat mengusir pemikiran
buruknya itu. Arel sudah berada di hadapan Hera yang masih memberontak,
sehingga mulut gadis itu tanpa segan disumpali kain oleh salah satu suster yang
tak bisa meredam emosi. Arel menghela napasnya lalu berjongkok sejajar dengan
gadis itu. Namun sebelumnya, ia meminta dua orang suster itu untuk meninggalkan
mereka.
“Hmmpphh hmmpphhh,” Hera memberontak dalam
sumpalan mulutnya. Kedua tangan gadis itu juga terikat menjadi satu, begitupun
kedua kakinya sehingga tak ada celah untuk kembali membikin keributan.
Arel memandang sedih pada Hera. Seperti orang gila, pikirnya.
Dengan tenang, Arel melepas sumpalan di
mulut Hera beserta ikatan di anggota gerak gadis itu. Hera mengap-mengap
mencari udara sebanyak mungkin lalu memandang tajam ke arah Arel.
“Ngapain lo ke sini?” tanya Hera kasar.
Arel tak segera menjawab. Ia malah
mendorong kursi roda Hera beserta selang infus yang tadi di beri oleh salah
satu suster. Arel membawa gadis itu menuju kolam taman dimana air mancur bagai
pilar itu berdiri kokoh di tengah-tengah kolam.
Hera menatap bingung kepada Arel. Gadis itu
ingin memprotes, namun bibirnya terasa kelu untuk berteriak. Maka gadis itu
diam dan memandang bingung kepada Arel yang tengah memutari kursi rodanya
menghadap kolam, sementara pemuda itu tersenyum lantas duduk di semen pinggir
kolam.
“Udara jam 6 itu segar juga, ya.” Arel
membuka percakapan. Ia menatap Hera dengan yakin lalu berujar, “Tolong, ungkap
sejujur-jujurnya.”
Hera terperangah. Jantungnya mendadak
berdegup dengan cepat dan dadanya kian sesak ingin meluap. “Jujur apaan?”
“Kenapa kamu berubah.” Singkat. Namun
lagi-lagi membuat Hera terperangah. Gadis itu mendengus kasar tak mau mengucap.
Arel tetap menunggu. Dipandanginya Hera
yang sibuk memandang langit kelabu pagi hari yang udaranya terasa dingin. Wajah
bulat gadis itu kini menjadi cekung. Tubuhnya kian kurus. Air mukanya yang
selalu segar menjadi tak sedap dipandang. Apalagi binar ceria dari balik iris hazel bening gadis itu kini meredup,
bahkan ada kantung mata yang lebar.
“Apa yang lo pengin dengar? Bukannya lo
udah tahu?” Arel tetap tenang mendengar ucapan kasar dari Hera. Walau dalam
hatinya ia meringis mendengar Hera yang menyebut ‘lo-gue’. Padahal dalam kamus
hidup gadis itu dulu, Hera tak begitu
suka dengan kerapan ‘lo-gue’.
“Walaupun aku udah tahu, tapi aku pengin
dengar dari mulut kamu. Pengin dengar isi hatimu. Kamu juga boleh lakuin
tindakan fisik ketika kamu cerita ke aku. Aku siap dengerin apa aja, asal kamu
akhirnya lega.”
Hera mengerutkan dahinya mendengar
penuturan dari Arel. Jujur saja, ia ingin mencurahkan semua apa yang ia rasakan
selama ini kepada sosok di depannya. Sahabatnya yang selalu ada di saat
kapanpun, bahkan di saat ia berubah gila seperti ini.
Arel menghela napasnya. Hera belum kunjung
membuka suaranya. Gadis itu memandang kosong ke arahnya seperti ingin meluapkan
semuanya namun ada yang meghalau.
Dan akhinya, Arel bertukas, “Her,
orang-orang itu pasti punya masalah. Bukan hanya kamu aja. Aku juga. Orang yang
tetap berdiri saat ia jatuh adalah orang yang bertahan dalam kekalutan masalah
yang ia hadapi. Ia kuat dan tetap menghadang masalah-masalah itu dengan
tersenyum.
“Dan
sikap itu juga harus ada di dalam diri kamu, Her. Walaupun kamu tertekan dalam
kericuhan hidup kamu, aku tetap pengin lihat kamu tersenyum walapun batin kamu
ingin menangis.”
“Nggak usah sok bijak, deh,” komentar Hera
dingin, dan itu membuat Arel tertegun.
“Gue nggak butuh nasihat-nasihat basi dari
siapapun. Yang gue pengin adalah orang tua gue peduli dan bersatu lagi,” lanjut
Hera. Namun ada nada lirih di interval per kata yang gadis itu ucapkan. Ucapan
itu juga membuat Arel mengulum senyum. Hera sudah mau membuka diri.
“Gue kesepian, Rel! Gue kesepian! Papa udah
nggak pernah di rumah lagi. Dia kerjaannya di kantor, terus gue pergokin lagi
selingkuh sama asistennya. Mama apalagi. Sibuk jadi manajer perusahaan apa itulah,
terus jarang pulang, juga. Gue benci hidup gue!” acau Hera frustasi sendiri.
“Belum lagi di sekolah, semua pada bully
gue.”
Hera langsung menutup wajahnya. Terdengar suara
sesenggukan yang sungguh menyayat Arel. Arel bangkit dari duduknya lalu
mencengkeram kursi roda Hera. Arel menggigit bibirnya bingung harus bagaimana.
Semilir angin pagi menyapa dengan berisik
membawa suasana hujan angin yang segera tiba. Arel memandang langit kelabu
beserta sang surya yang masih malu-malu. Kehangatan yang disampaikan menyergap
permukaan kulit Arel beserta menelisik hatinya yang tergetar.
Hera masih meluapkan tangisannya. Perlahan
Arel tersentuh tak mau mengganggu luapan Hera. Arel kembali memandang langit
lalu mendekati telinga Hera seraya berbisik, “Kita shalat dhuha, yuk.”
Hera mendongakkan kepalanya. Pipinya basah
beserta matanya yang sembab terlihat mengiris hati Arel.
“Boro-boro shalat dhuha, cara shalat aja,
gue udah lupa,” aku Hera pelan.
Arel tergugu. Cengkeramannya pada gagang
kursi roda semakin kuat. Ia lupa bahwa sudah setahun sahabatnya berubah, bahkan
intensitas ibadah Hera tak pernah ia temui. Ternyata Hera bukan saja berubah
karakter, namun mengingat Tuhan saja sudah berubah.
“Rel,” panggil Hera agak tersengal.
Arel tak mengacuhkan panggilan Hera. Pemuda
itu lalu mendorong kursi roda Hera. Hera sedikit tergagap saat Arel tiba-tiba
membawanya menjauh dari rumah sakit.
“Eh, lo mau bawa gue kemana?”
“Shalat.”
Hera mengangkat alisnya. “Eh, di rumah
sakit ada musala!”
Arel menggeleng. “Aku pengin ajak kamu
benar-benar ke Rumah Allah. Aku pengin kamu ingat Allah lagi.”
Hera termenung mendengar pernyataan Arel
yang tiba-tiba menggugah lubuk hatinya. Allah. Astaga, Hera lupa bahwa ia mash
ada Tuhan yang akan selalu mendengar rintihan hatinya. Kemanakah ia selama
setahun ini? Kemanakah ia selama dirinya sedang berkabung dengan titik-titik
emosinya? Kemanakah rasa malunya terhadap Tuhan, padahal Dia selalu hadir
menemani Hera? Hera meringis mengingat deretan perilakunya yang sudah jauh dari
ibadah apalagi menyebut asma ‘Allah’ yang begitu mudah dilontarkan.
“Wudhu, Her.” Lamunan Hera terbuyar kala
mendapatkan Arel yang sepertinya sudah berwudhu. Hera memandang Arel lekat
lantas menggeleng.
Gue
belum siap.
Arel tertegun sejenak dan mengabaikan
ketidakmauan sahabatnya itu. Lantas ia memasuki rumah suci Al-Qudus itu dengan
ketir. Ia melirik Hera di balik jendela besar yang tertembus menghadirkan
siluet Hera yang nampak mengedarkan pandangan.
Arel segera mencari posisi untuk
melaksanakan shalat. Masih melirik Hera, lalu berusaha fokus dan
mengumandangkan takbir diiringi doa untuk sahabatnya itu.
Ya
Allah, semoga Engkau menghadirkan cahaya-Mu kepada Hera. Berikan dia senyuman
hangat kembali dan segera melaksanakan perintah-Mu lagi.
Dan Arel lalu melaksanakan shalat dhuha.
Sementara di luar sana, Hera memandangi masjid
yang agak besar, hanya beberapa meter dari rumah sakit tempat ia dirawat itu.
Tempat suci yang sudah lama tak ia sandangi sekadar melaksanakan kegiatan
remaja muslim – saat ia belum berubah. Hera menatap nanar masjid itu. Andai
saja ia masih ingat bagaimana caranya shalat.
“Hera?”
Hera menoleh dan mendapati Arel yang sudah
keluar dari masjid dan tampak sedang mengenakan sandal. Hera tersenyum tipis
menanggapi.
“Kenapa nggak ikut shalat?” Arel langsung
mendesak Hera.
Hera terkesiap mendapatkan lontaran kalimat
tersebut. “Gue kan... udah lupa shalat. Kayakmana mau shalat dhuha coba?” jawab
Hera lirih.
Arel mengembuskan napasnya asal. Ia lalu
memandangi Hera yang nampak bergulat dengan kekalutan. Arel lalu menghadapkan
gadis yang berada di kursi roda itu ke dia. Tatapan bening iris hazel itu berkaca-kaca.
“Tak ada kata terlambat untuk memperbaiki
masa lalu, kan?”
Hera bergeming mendengar ucapan Arel. Arel
mendesah samar dan mengalihkan wajahnya ke arah menara masjid yang berdiri
angkuh di balik pohon sawo yang nampak kokoh berdiri.
“Kenapa lo peduli sama gue?” tanya Hera
dingin.
Arel belum menyahut. Hera juga seperti tak
menunggu jawaban Arel. Setelah mencoba menetralisir apa yang lidahnya kelukan,
Arel menjawab, “Karena aku termasuk salah satu orang yang selalu ada buat
kamu.”
“Kenapa? Kenapa lo harus ada buat gue?”
Arel belum mampu menjawab.
“Kenapa? Lo nggak bisa jawab? Apa
jangan-jangan kesungguhan itu Cuma sebatas mulut agar gue bisa kayak dulu?
Dasar pembohong!”
Rinai hujan datang membawa senyap kesedihan
seolah mengiringi dan menambah luka Hera. Arel berdiri dengan gemetar.
Tangannya mengepal, tak tahu harus berbuat apa
Hera terisak. “Rel, gue udah punya beban
sebelum orang tua gue cerai. Gue udah di bully
gara-gara dekat sama lo. Gue dilabrak dan diteror terus sama fans-fans ganjen lo buat ngejauhin lo. Selama
itu, memang lo ada buat gue?”
Kata-kata itu sungguh ajaib, sehingga
membuat angin pembawa hujan datang menghunus ulu hati Arel. Air langit itu tak ubahnya
air mata yang juga mengiringi pelupuk mata Arel yang ikut mengalir.
“Her,” panggil Arel lirih. Ia berjongkok
sejajar dengan Hera. Ia juga demikian seperti Hera yang tak bisa membendung liquid bening yang hadir akibat
tersentuh. “Aku udah kenal kamu dari kecil. Kita tumbuh bareng-bareng, kita
main sama-sama, nggak mungkin kan aku nggak tahu kamu kayakmana? Aku tahu baik
dan buruknya kamu, kebiasaan kamu, perilaku aneh kamu, dan semua yang ada di
kamu.
“Apa kamu belum percaya sepenuhnya kalau
aku nggak ada buat kamu? Jadi, siapa yang datang menolong kamu saat kamu
terjatuh ketika di bully? Siapa yang
rela hujan-hujanan tengah malam Cuma nyariin nasi goreng pesanan kamu?” Arel
tertahan sejenak, memejamkan mata mencoba mencari ketenangan. “Apa itu belum
jadi bukti, kalau aku ada untuk kamu?”
Arel menghela napas lalu memalingkan wajah,
menenggelamkan diri pada hanyutan hujan angin yang semakin deras. Sementara
Hera masih terisak pelan. Air dari langit itu memang seakan meyakinkan dirinya
untuk tidak terpengaruh oleh ucapan Arel.
Hera merenungi setiap kata yang Arel
ucapkan tadi. Ia benar-benar tertohok dan tersadar, bahwa Arel masih
menemaninya walau dalam jarak yang jauh setelah ia berubah tak seperti dulu.
“Rel,” –Hera mendongakkan kepalanya dan tersenyum
tulus sembari menyeka air matanya – “Terima kasih udah jadi sahabatku.”
Arel terkesima mendengar ucapan yang
sungguh damai dari Hera. Ia berusaha tersenyum walaupun pahit ketika mendengar
kata terakhir yang disampaikan gadis itu.
Sahabat.
Jadi hanya sahabat? Arel mengubah senyuman
tulusnya menjadi miris. Ditatapnya sahabatnya yang masih menyunggingkan
senyuman seraya menarik ingus yang keluar. Arel berharap Hera segera berubah.
Hera perlahan melunturkan senyumnya menjadi
tawa bahagia. Lalu ia memandang Arel yang tengah menikmati rinaian gemerisik
hujan, menikmati setiap titik yang hadir ke bumi. Hera mematung melihat
senyuman gembira Arel yang dengan asyiknya berjingkak-jingkak seiring mengikuti
alunan nada alami hujan itu. Seketika ada perasaan tersentuh yang menelusup di
relungnya.
“Arel, ajarin aku shalat!”
Aku
berharap, seiring waktu merangkak, aku akan menjalani hariku dengan tersenyum.
Walaupun aku terjatuh, aku harus tetap berdiri diiringi senyuman. Semoga tak
ada lagi badai yang menerjang kala hujan menyapa. - Hera
OWARI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar