Selasa, 18 November 2014

Memoar Bagi Masa - Cerpen



“Saat kamu kehilangan arah dan jiwa, kamu harus percaya, ada seseorang yang dikirim
Tuhan untuk menemani hari sepimu.”




     Hujan perlahan merinaikan rintikan kisahnya. Angin bergelut dengan hujan menyerbu sekian detik menimbulkan suara pekikan guntur menggelegar. Sayup-sayup suara adzan dzuhur terdengar kala gadis itu menelengkan kepalanya memandang pisau dapur yang tergeletak begitu saja di dekat kompor. Tak ia hiraukan panggilan merdu dari-Nya alih-alih mengambil pisau itu dan menggoreskan ke nadi tangan kirinya.
Copyright © 2014 Andhea


    

     Bau anyir kian bertambah kala remaja itu kembali menggoreskan pisau dapur ke tangan kirinya. Berkali-kali. Dan berkali-kali darah mengucur seiring bau anyir menyertai. Gadis itu tak peduli terhadap tangannya yang sudah mengeluarkan banyak darah, bahkan terhadap pisaunya yang sudah berkilatan darah segar. Yang gadis itu pikirkan adalah ia harus mengakhiri segera.
     “Kenapa?! Kenapa?!” Suara lirih nan kasarnya terdengar. Gadis itu beringsut sambil memegang pergelangan tangannya, bersimpuh diri sembari memberontak.
     Belum puas, gadis yang masih memakai seragam putih abu-abu itu segera merogoh ranselnya mencari sesuatu. Setelah berhasil menemukan sebuah alat suntik, ia cepat-cepat memberi obat dan menyuntiknya di lengan yang ia sabet dengan pisau.
     Perih, tentu saja. Gadis itu kembali mencengkeram pergelangan tangannya menahan perih itu. Namun apa daya, ia terjatuh, dadanya begitu sesak, sekujur tubuhnya kejang-kejang dan matanya membelalak. Ceceran darah segar itu menyebar di penjuru dapur. Bau anyir kian meresap indera pencium, sementara gadis itu kehilangan setengah kesadarannya.
     “Hera!” suara panik memanggil dirinya, masih terdengar di telinga. Gadis itu bergeming kendatinya ia sedang mengatur napasnya.
     “Ya Allah. Hera, kenapa bisa kayak gini, sih?” setelah mendengar ucapan itu, ia merasa tubuhnya diangkat dan ia tak bisa merasakan apapun lagi. Gelap.
^^^
     Pemuda itu melangkah dengan langkah cepat tak berirama di sepanjang koridor rumah sakit, melangkah dengan terburu-buru. Seragam SMA-nya sudah lepas berganti pakaian kasual dan di wajahnya masih ada bekas air wudhu shalat ashar beberapa menit lalu.
     Pemuda itu berhenti di ruangan nomor  072. Ia menarik napasnya sesaat dan segera mengangkat tangannya untuk membuka pintu. Setelah membuka sedikit, ia urung memasuki ruangan itu, alih-alih terpaku kala menemukan orang tua gadis yang akan ia jenguk sedang berbincang dengan sang dokter.
     “Bagaimana keadaan anak saya, Dok? Bagaimana keadaan Hera?” begitulah pertanyaan dari sang ibu yang pemuda itu dengar dari luar.
     “Hera hampir saja kehabisan darah. Untung saja kami masih punya stok golongan darah O, sehingga Hera masih bisa bertahan walaupun keadaannya masih lemah.”
     “Tapi tangannya luka, Dok. Saya takut dia terkena penyakit yang...” ayah Hera tak melanjutkan ucapannya, dan berharap dokter yang memeriksa Hera mengerti.
     Dokter itu mengangguk mengerti, “Masalah penyakit kita serahkan pada Tuhan, semoga tak ada penyakit mematikan yang mengidap di tubuh Hera,” terang Dokter itu tenang. “Dan saya sarankan, setelah Hera sudah merasa baikan, bawalah dia ke psikiater. Siapa tahu dia bermasalah dengan psikologisnya sehingga menyebabkan Hera harus menyabet lengannya dengan pisau. Baiklah saya permisi dulu.”
     Dokter itu keluar dari ruangan. Kala matanya bertemu dengan mata tajam sang pemuda yang berdiri di depan pintu, Dokter itu mengangguk sambil tersenyum kemudian berlalu.
     Pemuda itu termenung mendengar ucapan Dokter tadi, bahkan saat Dokter itu mengangguk padanya, ia tidak acuhkan. Pikirannya melayang pada Hera yang di dalam sana sedang tak sadarkan diri.
     Pintu kembali terbuka dan menampakkan sepasang suami-istri – orang tua Hera – yang terlihat muram. Sang ibu lalu melangkah menuju kursi tunggu dan menangis sesenggukan. Pemuda itu memandang cukup lama wanita itu lantas mengembuskan napasnya.
     “Arel,” panggil ayah Hera kepada pemuda itu – Arel. Arel segera menoleh dan mengangguk mengiyakan. “Makasih sudah membawa Hera  ke sini.”
     Arel tersenyum tipis. “Iya, Om, sama-sama. Untung aja Hera masih bisa diselamatin.” Ada kelegaan sekaligus ketegangan di sana.
     Tiba-tiba saja ponsel dari saku celana ayah Hera berbunyi. Pria itu segera mengangkatnya dan memilih untuk menghindar sebentar. Sementara sang ibu masih sesenggukan. Arel menatap kedua orang tua Hera dengan ragu. Ia ingin segera mendatangi Hera, memberi semangat pada gadis itu, namun sisi lain kedilemaan untuk meninggalkan ibu Hera – yang membutuhkan teman untuk menemaninya – juga berat.
     Andai saja mereka tidak berpisah, pikir Arel kalut.
     “Rel,” panggil ibu Hera lirih. “Kenapa Hera bisa seperti itu?”
     Arel tak segera menjawab. Benaknya kembali bermain dan memunculkan seorang gadis sedang tersenyum riang, tertawa, tersenyum malu sehingga pipinya memerah, marah, ngambek, manja, dan berbagai ekspresi lainnya yang membuat Arel tersenyum tanpa sadar. Namun ekspresi itu kini berganti dengan gadis yang menatap dengan tatapan bengis, dendam, hancur, dan tajam. Arel segera menggelengkan kepalanya berusaha mengusir benak-benaknya itu.
     “Arel juga nggak tahu. Arel kangen Hera yang dulu,” lirih Arel tertunduk. Padahal, pemuda itu tahu mengapa Hera berubah.
     “Saya harus kembali ke kantor. Ada meeting.” Tiba-tiba ayah Hera mendekat lalu segera berlalu dengan terburu-buru.
     Arel tersenyum miris. Bahkan saat anaknya hampir mati, tetap pekerjaan yang paling penting.
     Ibu Hera nampak tak mengacuhkan kepergian pria itu. Wanita paruh baya itu menatap nanar dari balik pintu transparan, menatap sang anak yang sedang tertidur lelap di sana.
     “Tante, Tante udah shalat?”
     Ibu Hera tersentak mendapat pertanyaan itu. Ia cepat-cepat menyeka sisa air mata di mata sembabnya itu, lalu bertanya, “Kamu udah shalat?”
     Arel mengangguk, “Udah. Barusan.”
     Ibu Hera melirik jam tangan. Waktu menunjukkan shalat ashar. Wanita karier itu menghela napas sebentar. “Tante shalat dulu, ya? Tolong temenin Hera, ya?”
     Arel kembali mengangguk. Matanya terulur pada Hera kemudian menyambut kepergian ibu Hera.
     “Arel.” Saat Arel akan membuka pintu ruangan, ibu Hera memandangnya dengan memohon dan tanpa suara, ia berkata, “tolong.”
     Arel terenyak sebentar melihat wajah begitu ingin meminta tolong padanya. Lalu kemudian Arel tersadar, bahwa wanita itu memintanya untuk menemani hari-hari kabut sang anak yang hampir direnggut kematian itu. Arel memantapkan hati untuk menanggung tugas itu.
     Lalu kemudian, Arel membuka pintu ruangan Hera dirawat. Atmosfer asing dan bau obat-obatan menyergap Arel. Arel melangkah pelan mendekati Hera yang berbaring seolah tak ada beban padahal nyatanya beban buruk ditanggung gadis itu.
     Arel enggan untuk mengelus rambut berantakan Hera. Ia hanya bergeming, duduk di sisi ranjang sambil memperhatikan wajah polos Hera.
     Melihat ekspresi – seolah tak ada beban – itu, membuat Arel kembali bermemoar saat ia dan Hera bermain bersama waktu di playground. Di samping mereka ditemani ibu masing-masing yang saling bercengkerama. Lalu mereka tumbuh menjadi murid SD yang saling bertengkar, tanda saling menyayangi. Berlanjut ke masa SMP, saat Arel yang menjabat sebagai ketua OSIS dan Hera yang menjadi sekretarisnya. Mereka bagai tak terpisah, karena ketua OSIS dan sekretaris tak pernah absen menghadiri rapat berdua.
     Kala mereka menginjak kelas 10, selama dua bulan menjadi murid SMA, Hera masih tetap sama, gadis periang dan cerewet yang manja pada Arel. Namun bulan berikutnya, tiba-tiba Hera menghindari Arel. Gadis itu menjadi penyendiri dan selalu menjadi bahan bully-an para kaum hawa yang centil-centil. Awalnya Arel mengira bahwa Hera menghindarinya karena intimidasi dari Renaya yang menyuruh gadis itu jauh-jauh darinya. Dan kendatinya juga, saat Arel mendekati Hera, Hera menyuruh Arel pergi dari hadapannya.
     Namun, sikap Hera itu terbongkar juga, kala Arel mengetahui bahwa kedua orangtua Hera bercerai saat kenaikan kelas sebelas. Titik mula yang membuat Hera berubah jadi sinis dan dingin adalah saat kedua orang tuanya bertengkar hebat, sehingga psikologis Hera tertekan. Arel miris mengingatnya. Dan tadi ia menemukan sahabatnya itu, hampir sakaratul maut.
     Hera perlahan membuka matanya. Ia mengerjap-erjapkan matanya berusaha terbiasa dengan cahaya lampu yang memendar. Melihat itu, Arel tersenyum sumringah.
     “Kenapa gue harus kebangun lagi?” itu ucapan Hera pertama kali saat gadis itu terbangun yang membuat Arel terenyak.
     Hera segera mendudukkan dirinya. Pandangan matanya seketika menjadi liar. Ia segera berusaha melepas infus yang terpasang di tangan kirinya, dan itu membuat Arel menjadi awas dan berusaha menghalau Hera untuk tidak melakukan tindakan tersebut.
     “Kamu mau ngapain?” tanya Arel terus menghalangi niat sahabatnya itu.
     Hera berteriak frustasi, “Ngapain lo halangin gue? Ngapain?”
     Hera terus berteriak dan keukeuh untuk menarik infus itu. Sementara Arel tetap bertahan bahkan saat Hera menggigit tangannya untuk menyuruh menghindar.
     Cepat-cepat Arel menekan tombol pemanggil suster yang berada di  sisi dinding. “Suster, cepat datang!” mohon Arel tetap bersikap panik.
     Tak lama kemudian, dua suster datang. Arel menyuruh dua suster itu untuk segera bertindak.
     Hera masih berteriak. Arel tetap berusaha membuat Hera tenang dan tidak berbuat konyol dengan membisik lirih ke telinga Hera, “Astaghfirullahazhim,” berulang kali.
     Salah satu suster lalu memberi obat bius lewat suntikan pada tangan Hera. Sehingga lolongan dan jeritan dari gadis itu perlahan senyap. Hera kembali tidur dan Arel membaringkan tubuh ringkih sahabatnya itu.
     Setelah berterimakasih pada dua suster itu, Arel baru bisa bernapas lega. Dipandanginya wajah Hera sambil tersenyum tipis lantas ia duduk kembali. Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi dan ia mendapat pesan dari ibu Hera bahwa ia ada urusan kantor yang harus segera diselesaikan.
     Arel memasuki ponselnya ke saku celana sambil mengembuskan napasnya kasar. Ia mengumpat kecil mengatakan bahwa mereka adalah orang tua tak tahu diri.
     “Hera, kenapa kamu berubah begini? Arel kangen Hera yang dulu,” itu lirihan pemuda 16 tahun.
     Sayup-sayup terdengar suara adzan berkumandang. Arel dengan sigap berdiri dari duduknya dan menerawang pada tirai jendela, dimana suara panggilan-Nya terdengar. Arel melirik Hera lalu mengulum senyum tipis.
     “Aku shalat maghrib dulu, ya, Her,” pamit Arel. “Setelah shalat isya, aku temenin lagi.”
     Tak ada jawaban dari Hera, dan itu membuat Arel mengecam dirinya bodoh karena sebenarnya ia tahu bahwa Hera sedang tak sadarkan diri. Arel menghela napas lalu melangkah sunyi meninggalkan Hera.
     Tak ada yang tahu, bahwa dibalik tak sadarkan diri, setetes air jatuh dari pelupuk mata Hera.
^^^
     Pagi menjelang. Arel melangkah keluar dari kamar 072 dengan panik, kala menemukan Hera sudah tak ada disana. Pemuda itu segera bertanya pada suster yang lewat mengenai raibnya Hera. Suster itu mengatakan bahwa Hera sedang menghirup udara segar semenjak setengah jam yang lalu di taman.
     Arel cepat-cepat melangkahkan kakinya menuju taman rumah sakit. Baju kasual birunya penuh peluh karena pemuda itu berlari selepas shalat subuh menuju rumah sakit hanya untuk menemani Hera. Kebetulan hari minggu jadi ia bisa lepas dari berbagai angka dan kalimat saintif yang menggerubungi otaknya. Namun cuaca yang terjadi tak mendukung. Mentari tampak malu-malu memendarkan cahayanya alih-alih bersembunyi dibalik awan abu-abu yang pekat.
     “Ngapain lo berdua peduli sama gue, hah?”
     Suara cempreng nan memberontak membuat langkah kaki Arel terhenti kala ia akan menginjak rumput basah muasal embun bertandang itu. Pandangannya seketika mendapati seorang gadis berkursi roda yang sedang mengamuk kepada dua orang suster yang nampak menenangi.
     “Hera...” hanya itu yang digumamkan Arel melihat tingkah gadis di kursi roda itu. Segera Arel melangkah mendekat dengan mantap.
     “Itu kenapa orang gila bisa dirawat di rumah sakit ini, sih?” bisik-bisik menghina dari beberapa pengunjung terdengar oleh Arel. Arel segera melemparkan tatapan tajam, lalu menarik napas panjang untuk menahan emosinya. Jika ia tak punya hati, ia akan berkata demikian kepada Hera.
     Arel cepat-cepat mengusir pemikiran buruknya itu. Arel sudah berada di hadapan Hera yang masih memberontak, sehingga mulut gadis itu tanpa segan disumpali kain oleh salah satu suster yang tak bisa meredam emosi. Arel menghela napasnya lalu berjongkok sejajar dengan gadis itu. Namun sebelumnya, ia meminta dua orang suster itu untuk meninggalkan mereka.
     “Hmmpphh hmmpphhh,” Hera memberontak dalam sumpalan mulutnya. Kedua tangan gadis itu juga terikat menjadi satu, begitupun kedua kakinya sehingga tak ada celah untuk kembali membikin keributan.
     Arel memandang sedih pada Hera. Seperti orang gila, pikirnya.
     Dengan tenang, Arel melepas sumpalan di mulut Hera beserta ikatan di anggota gerak gadis itu. Hera mengap-mengap mencari udara sebanyak mungkin lalu memandang tajam ke arah Arel.
     “Ngapain lo ke sini?” tanya Hera kasar.
     Arel tak segera menjawab. Ia malah mendorong kursi roda Hera beserta selang infus yang tadi di beri oleh salah satu suster. Arel membawa gadis itu menuju kolam taman dimana air mancur bagai pilar itu berdiri kokoh di tengah-tengah kolam.
     Hera menatap bingung kepada Arel. Gadis itu ingin memprotes, namun bibirnya terasa kelu untuk berteriak. Maka gadis itu diam dan memandang bingung kepada Arel yang tengah memutari kursi rodanya menghadap kolam, sementara pemuda itu tersenyum lantas duduk di semen pinggir kolam.
     “Udara jam 6 itu segar juga, ya.” Arel membuka percakapan. Ia menatap Hera dengan yakin lalu berujar, “Tolong, ungkap sejujur-jujurnya.”
     Hera terperangah. Jantungnya mendadak berdegup dengan cepat dan dadanya kian sesak ingin meluap. “Jujur apaan?”
     “Kenapa kamu berubah.” Singkat. Namun lagi-lagi membuat Hera terperangah. Gadis itu mendengus kasar tak mau mengucap.
     Arel tetap menunggu. Dipandanginya Hera yang sibuk memandang langit kelabu pagi hari yang udaranya terasa dingin. Wajah bulat gadis itu kini menjadi cekung. Tubuhnya kian kurus. Air mukanya yang selalu segar menjadi tak sedap dipandang. Apalagi binar ceria dari balik iris hazel bening gadis itu kini meredup, bahkan ada kantung mata yang lebar.
     “Apa yang lo pengin dengar? Bukannya lo udah tahu?” Arel tetap tenang mendengar ucapan kasar dari Hera. Walau dalam hatinya ia meringis mendengar Hera yang menyebut ‘lo-gue’. Padahal dalam kamus hidup gadis itu dulu, Hera tak begitu suka dengan kerapan ‘lo-gue’.
     “Walaupun aku udah tahu, tapi aku pengin dengar dari mulut kamu. Pengin dengar isi hatimu. Kamu juga boleh lakuin tindakan fisik ketika kamu cerita ke aku. Aku siap dengerin apa aja, asal kamu akhirnya lega.”
     Hera mengerutkan dahinya mendengar penuturan dari Arel. Jujur saja, ia ingin mencurahkan semua apa yang ia rasakan selama ini kepada sosok di depannya. Sahabatnya yang selalu ada di saat kapanpun, bahkan di saat ia berubah gila seperti ini.
     Arel menghela napasnya. Hera belum kunjung membuka suaranya. Gadis itu memandang kosong ke arahnya seperti ingin meluapkan semuanya namun ada yang meghalau.
     Dan akhinya, Arel bertukas, “Her, orang-orang itu pasti punya masalah. Bukan hanya kamu aja. Aku juga. Orang yang tetap berdiri saat ia jatuh adalah orang yang bertahan dalam kekalutan masalah yang ia hadapi. Ia kuat dan tetap menghadang masalah-masalah itu dengan tersenyum.
     “Dan sikap itu juga harus ada di dalam diri kamu, Her. Walaupun kamu tertekan dalam kericuhan hidup kamu, aku tetap pengin lihat kamu tersenyum walapun batin kamu ingin menangis.”
     “Nggak usah sok bijak, deh,” komentar Hera dingin, dan itu membuat Arel tertegun.
     “Gue nggak butuh nasihat-nasihat basi dari siapapun. Yang gue pengin adalah orang tua gue peduli dan bersatu lagi,” lanjut Hera. Namun ada nada lirih di interval per kata yang gadis itu ucapkan. Ucapan itu juga membuat Arel mengulum senyum. Hera sudah mau membuka diri.
     “Gue kesepian, Rel! Gue kesepian! Papa udah nggak pernah di rumah lagi. Dia kerjaannya di kantor, terus gue pergokin lagi selingkuh sama asistennya. Mama apalagi. Sibuk jadi manajer perusahaan apa itulah, terus jarang pulang, juga. Gue benci hidup gue!” acau Hera frustasi sendiri. “Belum lagi di sekolah, semua pada bully gue.”
     Hera langsung menutup wajahnya. Terdengar suara sesenggukan yang sungguh menyayat Arel. Arel bangkit dari duduknya lalu mencengkeram kursi roda Hera. Arel menggigit bibirnya bingung harus bagaimana.
     Semilir angin pagi menyapa dengan berisik membawa suasana hujan angin yang segera tiba. Arel memandang langit kelabu beserta sang surya yang masih malu-malu. Kehangatan yang disampaikan menyergap permukaan kulit Arel beserta menelisik hatinya yang tergetar.
     Hera masih meluapkan tangisannya. Perlahan Arel tersentuh tak mau mengganggu luapan Hera. Arel kembali memandang langit lalu mendekati telinga Hera seraya berbisik, “Kita shalat dhuha, yuk.”
     Hera mendongakkan kepalanya. Pipinya basah beserta matanya yang sembab terlihat mengiris hati Arel.
     “Boro-boro shalat dhuha, cara shalat aja, gue udah lupa,” aku Hera pelan.
     Arel tergugu. Cengkeramannya pada gagang kursi roda semakin kuat. Ia lupa bahwa sudah setahun sahabatnya berubah, bahkan intensitas ibadah Hera tak pernah ia temui. Ternyata Hera bukan saja berubah karakter, namun mengingat Tuhan saja sudah berubah.
     “Rel,” panggil Hera agak tersengal.
     Arel tak mengacuhkan panggilan Hera. Pemuda itu lalu mendorong kursi roda Hera. Hera sedikit tergagap saat Arel tiba-tiba membawanya menjauh dari rumah sakit.
     “Eh, lo mau bawa gue kemana?”
     “Shalat.”
     Hera mengangkat alisnya. “Eh, di rumah sakit ada musala!”
     Arel menggeleng. “Aku pengin ajak kamu benar-benar ke Rumah Allah. Aku pengin kamu ingat Allah lagi.”
     Hera termenung mendengar pernyataan Arel yang tiba-tiba menggugah lubuk hatinya. Allah. Astaga, Hera lupa bahwa ia mash ada Tuhan yang akan selalu mendengar rintihan hatinya. Kemanakah ia selama setahun ini? Kemanakah ia selama dirinya sedang berkabung dengan titik-titik emosinya? Kemanakah rasa malunya terhadap Tuhan, padahal Dia selalu hadir menemani Hera? Hera meringis mengingat deretan perilakunya yang sudah jauh dari ibadah apalagi menyebut asma ‘Allah’ yang begitu mudah dilontarkan.
     “Wudhu, Her.” Lamunan Hera terbuyar kala mendapatkan Arel yang sepertinya sudah berwudhu. Hera memandang Arel lekat lantas menggeleng.
     Gue belum siap.
     Arel tertegun sejenak dan mengabaikan ketidakmauan sahabatnya itu. Lantas ia memasuki rumah suci Al-Qudus itu dengan ketir. Ia melirik Hera di balik jendela besar yang tertembus menghadirkan siluet Hera yang nampak mengedarkan pandangan.
     Arel segera mencari posisi untuk melaksanakan shalat. Masih melirik Hera, lalu berusaha fokus dan mengumandangkan takbir diiringi doa untuk sahabatnya itu.
     Ya Allah, semoga Engkau menghadirkan cahaya-Mu kepada Hera. Berikan dia senyuman hangat kembali dan segera melaksanakan perintah-Mu lagi.
     Dan Arel lalu melaksanakan shalat dhuha.
    
     Sementara di luar sana, Hera memandangi masjid yang agak besar, hanya beberapa meter dari rumah sakit tempat ia dirawat itu. Tempat suci yang sudah lama tak ia sandangi sekadar melaksanakan kegiatan remaja muslim – saat ia belum berubah. Hera menatap nanar masjid itu. Andai saja ia masih ingat bagaimana caranya shalat.
     “Hera?”
     Hera menoleh dan mendapati Arel yang sudah keluar dari masjid dan tampak sedang mengenakan sandal. Hera tersenyum tipis menanggapi.
     “Kenapa nggak ikut shalat?” Arel langsung mendesak Hera.
     Hera terkesiap mendapatkan lontaran kalimat tersebut. “Gue kan... udah lupa shalat. Kayakmana mau shalat dhuha coba?” jawab Hera lirih.
     Arel mengembuskan napasnya asal. Ia lalu memandangi Hera yang nampak bergulat dengan kekalutan. Arel lalu menghadapkan gadis yang berada di kursi roda itu ke dia. Tatapan bening iris hazel itu berkaca-kaca.
     “Tak ada kata terlambat untuk memperbaiki masa lalu, kan?”
     Hera bergeming mendengar ucapan Arel. Arel mendesah samar dan mengalihkan wajahnya ke arah menara masjid yang berdiri angkuh di balik pohon sawo yang nampak kokoh berdiri.
     “Kenapa lo peduli sama gue?” tanya Hera dingin.
     Arel belum menyahut. Hera juga seperti tak menunggu jawaban Arel. Setelah mencoba menetralisir apa yang lidahnya kelukan, Arel menjawab, “Karena aku termasuk salah satu orang yang selalu ada buat kamu.”
     “Kenapa? Kenapa lo harus ada buat gue?”
     Arel belum mampu menjawab.
     “Kenapa? Lo nggak bisa jawab? Apa jangan-jangan kesungguhan itu Cuma sebatas mulut agar gue bisa kayak dulu? Dasar pembohong!”
     Rinai hujan datang membawa senyap kesedihan seolah mengiringi dan menambah luka Hera. Arel berdiri dengan gemetar. Tangannya mengepal, tak tahu harus berbuat apa
     Hera terisak. “Rel, gue udah punya beban sebelum orang tua gue cerai. Gue udah di bully gara-gara dekat sama lo. Gue dilabrak dan diteror terus sama fans-fans ganjen lo buat ngejauhin lo. Selama itu, memang lo ada buat gue?”
     Kata-kata itu sungguh ajaib, sehingga membuat angin pembawa hujan datang menghunus ulu hati Arel. Air langit itu tak ubahnya air mata yang juga mengiringi pelupuk mata Arel yang ikut mengalir.
     “Her,” panggil Arel lirih. Ia berjongkok sejajar dengan Hera. Ia juga demikian seperti Hera yang tak bisa membendung liquid bening yang hadir akibat tersentuh. “Aku udah kenal kamu dari kecil. Kita tumbuh bareng-bareng, kita main sama-sama, nggak mungkin kan aku nggak tahu kamu kayakmana? Aku tahu baik dan buruknya kamu, kebiasaan kamu, perilaku aneh kamu, dan semua yang ada di kamu.
     “Apa kamu belum percaya sepenuhnya kalau aku nggak ada buat kamu? Jadi, siapa yang datang menolong kamu saat kamu terjatuh ketika di bully? Siapa yang rela hujan-hujanan tengah malam Cuma nyariin nasi goreng pesanan kamu?” Arel tertahan sejenak, memejamkan mata mencoba mencari ketenangan. “Apa itu belum jadi bukti, kalau aku ada untuk kamu?”
     Arel menghela napas lalu memalingkan wajah, menenggelamkan diri pada hanyutan hujan angin yang semakin deras. Sementara Hera masih terisak pelan. Air dari langit itu memang seakan meyakinkan dirinya untuk tidak terpengaruh oleh ucapan Arel.
     Hera merenungi setiap kata yang Arel ucapkan tadi. Ia benar-benar tertohok dan tersadar, bahwa Arel masih menemaninya walau dalam jarak yang jauh setelah ia berubah tak seperti dulu.
     “Rel,” –Hera mendongakkan kepalanya dan tersenyum tulus sembari menyeka air matanya – “Terima kasih udah jadi sahabatku.”
     Arel terkesima mendengar ucapan yang sungguh damai dari Hera. Ia berusaha tersenyum walaupun pahit ketika mendengar kata terakhir yang disampaikan gadis itu.
     Sahabat.
     Jadi hanya sahabat? Arel mengubah senyuman tulusnya menjadi miris. Ditatapnya sahabatnya yang masih menyunggingkan senyuman seraya menarik ingus yang keluar. Arel berharap Hera segera berubah.
     Hera perlahan melunturkan senyumnya menjadi tawa bahagia. Lalu ia memandang Arel yang tengah menikmati rinaian gemerisik hujan, menikmati setiap titik yang hadir ke bumi. Hera mematung melihat senyuman gembira Arel yang dengan asyiknya berjingkak-jingkak seiring mengikuti alunan nada alami hujan itu. Seketika ada perasaan tersentuh yang menelusup di relungnya.
     “Arel, ajarin aku shalat!”

     Aku berharap, seiring waktu merangkak, aku akan menjalani hariku dengan tersenyum. Walaupun aku terjatuh, aku harus tetap berdiri diiringi senyuman. Semoga tak ada lagi badai yang menerjang kala hujan menyapa. - Hera

OWARI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar