Minggu, 20 September 2015

Gadis Bulan Maret (Cerpen)



KEHANGATAN mentari pagi sungguh terasa. Aroma pagi yang menenangkan membuat langkah gadis berseragam putih abu-abu itu tampak ringan. Burung-burung bercekikik riang dan membuat gadis itu tersenyum senang namun tatkala melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya, dia tersentak dan melangkah lebih cepat.
            Pagi yang cerah di kompleks perumahan. Leya sengaja berjalan kaki menuju sekolahnya. Dikarenakan dia tak dapat mengendarai kendaraan dan tak enak jika harus menumpang ayahnya yang kerja di pesisir pantai, dia memang harus rela berkeringat saat sampai di sekolah atau pun ketika pulang sekolah.
            “Ma kasih, ya, Mbak.”
            Langkah kaki Leya berhenti beberapa meter dari toko bunga setelah keluar dari kompleks rumahnya. Dia dapat melihat dengan jelas seorang pemuda berseragam yang sama dengannya tampak memegang sebuket bunga saat keluar dari toko tersebut. Entah dorongan dari mana, tubuh kecil Leya mendekati teman sekolahnya itu.
            “Hai, Leya!” sambut pemuda itu dengan riang sembari menaiki motornya.
            “Hai, Lan,” sahut Leya, melirik bunga yang masih berada di genggaman Alan. “Bunga mawar untuk Mawar, ya? Dia pasti tertarik, deh.”
            Mawar. Gadis kursi roda yang selalu mendapat perhatian khusus dari Alan dan membuat Leya harus menelan ludahnya.
            Alan mengangguk. “Iya. Pasti tertarik. Semoga dia enggak trauma sama kejadian sebulan lalu. Ley, lo mau berangkat bareng gue?”
            Leya terdiam. Alan menawarkan tumpangan untuknya dan membuat Leya bimbang.
            “Ayo, Ley.” Leya seketika mengangguk dan menaiki motor Alan.
            “Lo tumben enggak beli bunga daffodil,” Alan tiba-tiba membuka percakapan sebelum motornya melaju. Leya sempat bingung dengan arah pembicaraan Alan. Namun, matanya kemudian menangkap satu pot bunga daffodil.
            “Enggak tahu kenapa, gue bosan beli daffodil. Mungkin pas ulang tahun gue, gue beli bunga daffodil,” jawab Leya sekenanya.
            “Lusa ulang tahun lo, kan? Berarti lo bakal beli bunga daffodil?”
            Leya terdiam. Lusa juga ulang tahun lo, Lan. “Kayaknya, sih, iya. Tergantung dompet juga.”
            Alan tertawa kecil. “Tiga tahun gue kenal sama lo. Pasti setiap bulan Maret, lo pasti identik dengan bunga daffodil. Emang ada apa, sih, sama bunga itu?”
            “Bunga daffodil itu,” Leya mulai menjelaskan tepat Alan mulai menyalakan mesin motornya dan motor itu melaju ringan, “artinya kelahiran kembali, menghormati, menghargai dan...”
            Leya seketika menggantungkan ucapannya. Kata terakhirnya betul-betul menyesakkan jika harus dilafalkan. Dia tak pernah percaya tentang arti sebuah bunga yang disalahgunakan menjadi sebuah ramalan. Namun adakalanya setiap bunga memiliki makna yang benar-benar nyata.
            “Dan, apa?” tanya Alan lantas membuyarkan lamunan Leya.
            “Dan, gue berharap setiap bulan Maret—bukan bulan ini aja, tapi setiap bulan, gue dapat sesuatu baru yang bisa buat gue merasakan lahir kembali.  Dapat merasakan makna dari hidup di dunia ini. Gue harus selalu bisa menghargai orang lain, dan setiap karya-karya yang diciptakan orang itu.
            “Lan, lo tahu, enggak, kenapa setiap bulan Maret, gue selalu kasih dua tangkai ke orang-orang yang ada di sekitar gue?” tanya Leya. Gadis itu lalu mengulum senyum. “Bunga Daffodil itu seperti hari baru dan gue harus kasih kesempatan baru pada orang-orang dengan dua tangkai Daffodil.”
            “Kenapa harus dua tangkai? Satu tangkai aja udah cukup,” sela Alan. Leya kembali terdiam.
            “Karena satu tangkai daffodil berarti kesialan.” Alan seketika menoleh dan mendapati Leya yang berada di belakangnya tampak memandang kosong jalanan.
            “Berarti lo percaya kalau satu tangkai daffodil berarti kesialan? Ya, ampun! Masih ada yang percaya sama arti bunga,” cibir Alan. Dia kemudian terkekeh mendapati Leya memukul kepalanya.
            “Gue enggak percaya kayak gituan. Kalau gue kasih satu tangkai daffodil ke orang yang pakar bunga, bisa-bisa dia tersinggung gegara gue kasih kesialan ke dia.”
            “Ya udah, pura-pura enggak tahu arti bunga itu,” jawab Alan seadanya dan dia langsung diberti lototan dari Leya. “Dasar, Gadis Bulan Maret.”
            Leya menganga. “Apa? Gadis Bulan Maret? Dasar, Bujang—”
            Alan langsung menyela. “Bujang?”
            “Gue bingung pasangan gadis itu apa. Jadi gue panggil bujang. Lagian artinya sama aja—Lan, lo mau ke mana? Ini bukan jalan ke sekolah!” seru Leya terkejut ketika Alan membelokkan motornya ke arah kiri.
            Sebelum Leya mendapatkan jawaban dari Alan, dia bergeming menyadari bahwa Alan sedang menuju ke kompleks perumahan Mawar. Dan motor Alan berhenti beberapa meter dari rumah Mawar.
            Leya langsung tergugu saat seorang pria paruh baya tengah menggendong seorang perempuan berseragam yang sama dengannya masuk ke mobil. Setelah memasukkan gadis itu ke dalam mobil, pria itu pun memasukkan sebuah kursi roda untuk ikut serta. Dia Mawar, gadis yang kini lumpuh karena kecelakaan dan membuat gadis itu juga kehilangan pacarnya.
            “Kenapa ke sini, Lan?” Leya tidak mendapatkan jawaban dari Alan. Namun gadis itu akhirnya mengerti bahwa sudah sebulan Alan menjadi penguntit Mawar. Dan fakta itu membuatnya menjadi sesak.
            Sesak itu kembali hadir ketika Alan mulai melajukan motornya mengikuti mobil yang membawa Mawar. Leya sudah dua tahun memendam rasa terhadap Alan dan Mawar, (mantan) sahabatnya itu yang justru mendapatkan perhatian dari Alan.
            Alan suka mencari perhatian dengan Mawar, bahkan ketika Mawar sudah resmi menjadi pacar dari Ray. Alan semakin sering menggoda Mawar, apalagi di hadapan Ray. Jadi tak heran jika Leya sering melihat Alan dan Ray bertengkar karena Mawar. Leya selalu berpikir kenapa Alan suka sekali menggoda Mawar. Tapi hanya satu jawaban yang terlintas di benaknya. Alan menaksir Mawar.
***
            Hari ini hari ulang tahun Leya. Khusus di hari ulang tahunnya, gadis itu berangkat ke sekolah menggunakan sepedanya. Tak lupa dia membawa seikat bunga daffodil dan seikat bunga lili yang dimasukkan ke dalam plastik besar. Sambil menaiki sepedanya, dia menaruh plastik berisi bunga-bunga itu ke keranjang sepeda.
            Hari ulang tahunnya berarti hari ulang tahun Alan. Leya tak sabar untuk memberikan seikat daffodil kepada Alan sebagai kado ulang tahun. Awalnya, ibunya menyuruh membawa beberapa tangkai dan memberikan setangkai untuk teman yang berulang tahun. Leya menolaknya karena alasan kesialan tersebut dan dia tak mau dikira pilih kasih karena Leya memberikan Alan setangkai daffodil sementara orang lain dua tangkai.
            “Arial! Lihat Alan, enggak?” Leya tiba-tiba berseru kepada temannya ketika memarkirkan sepedanya.
            “Tadi gue lihat di taman belakang sekolah,” jawab Arial. Mata pemuda itu langsung terarah ke plastik besar yang dijinjing Leya. “Itu apa?”
            “Oh, ini bunga daffodil buat kado ulang tahun Alan. Awalnya gue mau bawa banyak buat bagi-bagi. Tapi gue janji buat kasih buat teman-teman dan buat lo juga besok.” Leya mengeluarkan dua ikat bunga di plastik itu. “Oke. Gue cari Alan dulu, ya!”
            Leya lantas berlari meninggalkan Arial yang bergeming di belakang. Namun, langkah Leya terhenti ketika menyadari ada seikat bunga lili di genggamannya. Bunga tanda persahabatan dan pengkhianatan. Leya tersenyum miris ketika mengingat kenangan di mana dirinya dan Mawar masih tertawa bersama dan berbagi cerita.
Leya segera menggelengkan kepalanya, menepis semua benak yang terlintas tentang Mawar. Namun dia juga bingung. Untuk apa dia memberikan seikat bunga lili kepada Mawar yang jelas-jelas sudah mempermainkan persahabatan yang sudah terjalin cukup lama? Tak mau pusing, dia segera melanjutkan langkahnya.
Masih ada Arial di belakangnya. Leya tak tahu bahwa Arial mengikuti langkah kakinya menuju taman belakang sekolah.
***
            Gadis itu tergugu di tempat kala melihat sepasang insan sedang bercanda di dekat kolam ikan. Leya mendengus saat tahu siapa yang sedang dipergokinya. Kebetulan sekali jika dia harus memberikan seikat lili untuk yang perempuan. Tapi rasa sakit mengingat kilasan kenangan yang menyakitkan itu, sontak membuatnya melempar dua ikat bunga yang digenggamnya.
            Leya tak ingin merasakan sesak berkali-kali. Dulu, dia Cuma main-main menyukai Alan. Namun lambat laun rasa itu menjadi kagum. Dia tak bosan-bosannya memandang wajah tampan dan manis seorang Alan. Dia mengklaim bahwa dirinya adalah penggemar Alan. Tapi kini dia tak bisa menasirkan rasa itu lagi. Dia menjadi sesak sekarang.
            “Enggak jadi kasih kado buat Alan?” Leya terkesiap ketika ada yang bertanya. Dia lalu menemukan Arial yang dengan santai mendekat.
            “Dia lagi enggak ingin diganggu.” Leya mengedikkan dagu lalu tertawa kecil.
            “Enggak ingin diganggu, atau lo yang takut cemburu?”
            Leya langsung menoleh. Kata-kata Arial cukup mengganggunya. Dia menghela napas dan memandang nanar kepada Alan dan Mawar.
            “Jadi penggemar itu harus siap patah hati.”
            Itu alibi. Arial yakin bahwa Leya sedang berbohong lewat ucapan. Tapi Arial tak dapat mencegahnya. Dia membiarkan Leya pergi meninggalkan dua ikat bunga di samping pohon mangga yang sedang berbuah lebat. Arial sekilas melirik Alan dan Mawar, lantas menggerakkan kakinya untuk menjauh.
***
            Alan selalu tahu bahwa Leya suka sekali dengan bunga daffodil yang merupakan lambang kelahiran bunga Maret. Tak heran jika dia terkejut melihat bunga daffodil yang terbengkalai di dekat pohon. Dia langsung teringat akan Leya.
            “Kenapa Lan?” tanya Mawar.
            “Di situ ada bunga. Gue ambil dulu, ya,” tunjuk Alan. Pemuda itu berlari mendekat ke arah bunga daffodil. Mawar menyusul Alan dengan menggerakkan kursi rodanya.
            “Bunga lili?” Mawar tergugu. Dia tahu arti bunga tersebut dan membuatnya mengingat Leya dan segala cerita yang pernah terjalin di antara mereka. Tanpa sadar Mawar menangis sembari memungut seikat bunga lili tersebut.
            “Gue duluan, ya, Lan. Mau memperbaiki semuanya,” pamit Mawar. Gadis itu menggerakkan kursi rodanya menjauh dari Alan. Alan tak mencegahnya. Pemuda itu tahu dan dia berharap ketegangan antara Mawar dan kenangan bunga lili itu segera selesai.
            Alan tahu siapa pemberi bunga lili itu begitu pula dengan bunga daffodil. Tebakannya tertuju kepada satu orang. Gadis Bulan Maret. Alan tertawa kecil mengingat percakapannya dengan Leya dua hari yang lalu, saat gadis itu memberi alasan kenapa dia menyukai bunga daffodil.
            “Arti bunga daffodil bukan itu aja, Ley. Bunga daffodil itu juga berarti cinta tak terbalaskan.”
            Alan sudah tahu sebelum Leya menjelaskan. “Tapi itu enggak berarti buat lo ke gue, Ley,” bisik Alan syahdu.
            Thanks kadonya, Ley. Selamat ulang tahun juga buat lo, Gadis Bulan Maret.”
***
            “Gue suka sama lo, Ley.”
            Leya tersentak mendengar pertanyaan itu sampai dia menghentakkan kakinya terlanjur kaget. Seorang Arial. Arial yang terkesan dingin kepadanya mengatakan hal yang membuat dirinya hampir tak percaya. Kenapa pemuda itu berkata ketika dia sedang patah hati?
            “Ya, enggak usah lo jawab, kok, Ley. Gue berharap lo enggak kasih bunga daffodil ke gue. Lo enggak kasih bunga daffodil itu ke gue aja, cinta gue memang enggak terbalas.” Arial beranjak dari duduknya dan membuat Leya merasa tak nyaman.
            Arial lalu melangkahkan kakinya keluar dari kelas yang sudah cukup ramai. Leya bergeming di tempatnya dan sibuk memikirkan pernyataan Arial.
            “Jangan langsung mengira yang ada di pikiran lo itu nyata, Ley. Dan seharusnya lo enggak usah kasih bunga daffodil ke Alan.” []

Sabtu, 13 Juni 2015

Matahari dan Hujan

“Aku suka hujan.”
Aku tersenyum tipis mendengar pengakuanmu. Aku tahu dari dulu kau selalu mendatangi hujan dan berteriak lepas kala rintikan dari langit menerjang tubuhmu sehingga  tubuhmu menjadi  basah apalagi kau akan selalu berujar bahwa kau menyukai petrichor – bau khas hujan – yang amat kubenci.
“Lea, kamu suka apa?”
Pertanyaanmu itu selalu membuatku kesal, jujur saja. Aku tak suka dikejar pertanyaan dan kau selalu terus mengajukan pertanyaan yang sama. Apakah kau tahu bahwa –
“Aku suka matahari.”
Kau akan mengernyitkan dahi ketika kerap selalu kujawab dengan jawaban seperti itu. Dan kau selalu menanyakan alasan mengapa aku menyukai matahari. Aku hanya bergeming dan terus mendengar rentetan pertanyaanmu. Aku bosan mendengar celotehanmu sebenarnya. Namun, suara indahmu seperti candu yang selalu enak untuk didengar. Dan aku menyukainya.
“Lea, kenapa kamu suka matahari?” tanyamu lagi.
Aku tersenyum kali ini. Segera kujawab, “Karena matahari itu memendarkan kehangatan.”
“Memendarkan kehangatan?” Aku mengangguk pelan namun mantap.
“Iya. Karena aku  nyaman berada di sela-sela canda dan tawa yang hangat dan senyuman yang menenangkan, sama seperti ini.”
Kau tersenyum mendengar penuturanku. Oh, syukurlah, akhirnya kau peka.
“Aku berharap hujan mampu bersatu dengan matahari.”
Aku terenyak. Ucapanmu seperti ambigu yang harus segera dipecahkan.
“Karena aku merindukan sosok seperti hujan yang mendamaikan kala aku memandang senyumnya.” []

Rabu, 06 Mei 2015

Arti Sesal (Cerpen)

Judul: Arti Sesal
Karya: Andhea
Kapasitas: 1365 karakter
Note: Didekasikan untuk para inspirator saat menulis cerita ini. Tiada kalimat yang terngiang untuk mengucapkan terima kasih kepada kalian.
***
HARI sudah semakin siang dan para pelayat mulai berpencar untuk pulang. Terlihat sepasang suami-istri bergeming di samping makam. Sang istri tampak menangis tersedu-sedu seraya mengelus batu bertuliskan nama almarhumah. Wanita kisaran 40-an itu dengan teganya berteriak meminta putrinya untuk pulang ke pelukannya dan menyangkal bahwa kebenaran putrinya meninggal itu tidak nyata.
            “Ma, jangan jadi seperti ini. Dira udah enggak ada. Jangan usik dia kayak gini. Nanti dia enggak tenang.” Tampak suaminya menenangkannya. Istrinya menggeleng dan kukuh untuk berteriak meminta Dira untuk kembali.
            Suaminya menghela napas sambil mengelus bahu istrinya. Kemudian matanya beralih kepada dua anaknya yang berdiri cukup jauh dari makam Dira. “Lang, kamu sama Kiera pulang duluan aja,” ucapnya, melihat Kiera yang tampak memandang dengan kosong.
            Galang mengangguk. Dia lalu membimbing Kiera untuk beranjak. Namun cewek itu menggeleng dan tetap memandang makam saudarinya dengan kosong.
            “Ki. Yuk, kita pulang,” ajak Galang. Kiera tetap bersikukuh untuk tinggal.
            “Pulang, Ki. Kita enggak bisa ngapa-ngapain lagi di sini. Papa udah nyuruh kita pulang.”
            “Gue enggak mau pulang, Lang. Gue masih belum bisa menebus kesalahan gue ke Dira,” jawab Kiera dengan lirih.
            Galang terhenyak. Adik tirinya itu  menangis lantas memeluk tubuh Galang. Galang tak bisa apa-apa. Dengan tenang, dia mendengar setiap kata yang terucap dari Kiera di sela-sela tangis. Kiera menyesal telah melempar gelas ke arah Dira dan menyebabkan kepala Dira mengalami kebocoran lalu akhirnya meninggal dunia setelah dirawat dua hari di rumah sakit.
            “Penyesalan memang terjadi di akhir, Ki. Dira udah ditakdirkan Tuhan untuk kembali kepada-Nya sebelum kita. Ini memang kesalahan lo, tapi lo bukan Tuhan yang mengatur kehidupan,” ucap Galang. Sembari mengelus punggung cewek itu, dia berbisik, “Kita pulang, ya.”
            Kiera beringsut dari pelukan Galang. Setelah menyeka air matanya, dia mengangguk setuju. Galang tersenyum lega lantas merangkul bahu kecil cewek itu dan berbalik untuk pulang.
            “Jangan kabur, Anak Pembunuh!”
            Kiera tersentak. Itu suara ibu tirinya dan menyelorohnya dengan sebutan Anak Pembunuh. Seketika rasa takut dan bersalah kembali menyelimutinya. Kiera menoleh ke arah Galang. Di mana Galang juga sama takutnya. Tapi cowok itu segera menggenggam tangan Kiera untuk menguatkan.
            “Dasar pembunuh yang enggak tahu diri! Kamu harus dapat karma! Tega-teganya membunuh anakku!” seru ibu Dira tersebut. Kiera dengan takut, berbalik badan juga dan dia dapat melihat wajah merah padam dari ibunya itu.
            “Nia, udah. Jangan terpancing seperti itu!” tukas sang suami, menarik istrinya yang ingin melabrak Kiera.
            “Dia udah ngebunuh Dira, Mas. Dia udah ngebunuh saudaranya sendiri!” sangkal Nia tetap tak mau mengalah. “Memang sialan ibunya itu!”
            Kiera menjadi membeku mendengar Nia yang kini mencaci maki ibunya yang sudah meninggal itu. Cewek itu semakin membenci ibu tirinya yang mencemooh ibu kandungnya. Hatinya menjerit-jerit menuduh Nia yang telah mengambil hati ayahnya dengan mengatakan hal yang tidak baik tentang ibunya.
             “Lang, cepat bawa Kiera pergi dari sini!” Sang ayah lantas berseru dengan kedua tangannya yang menahan tubuh istrinya tersebut.
            Galang tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia memandang adik tirinya yang tampak mengatur napas dan memandang Nia dengan tak suka. Segera tangan kekarnya mengalungi leher Kiera seraya berbisik, “Kita pulang aja,” lalu menarik Kiera untuk menjauh.
***
Galang menarik napas melihat pigura kecil di nakas. Sepasang remaja terpotret dengan gaya konyol di sana. Itu dia dan Kiera, sebelum mengetahui bahwa mereka terlahir biologis oleh satu ayah. Ibunya adalah istri pertama ayahnya. Sayangnya, setelah ibunya melahirkan dirinya, ayahnya telah menikah dengan wanita lain dan wanita itu sedang mengandung. Akhirnya ibunya dan ayahnya bercerai.
Beberapa tahun kemudian, istri kedua ayahnya meninggal dunia dan ayahnya menikah lagi dengan seorang janda beranak satu. Galang yang saat itu ditinggal ibu dan kakaknya untuk bekerja menjadi TKI di luar negeri, dititipkan kepada ayahnya. Dia tak tahu bahwa dirinya masih memunyai ayah dan memunyai dua adik tiri. Sebelum dia tinggal bersama ayahnya, dia sudah mengenal dua adik tirinya dengan baik. Kiera dan Dira yang saling bermusuhan.
Entah, kata apa yang tepat untuk gejolak di dirinya. Dia dan Dira adalah sepasang sahabat semasa kecil. Sementara dengan Kiera... Galang segera menggelengkan kepala mengusir gusar dan kalut yang tiba-tiba menghampiri. Dan tepat ketika seseorang menyelonong masuk ke kamarnya sambil berteriak ketakutan.
“Galang, tolongin gue!” pekik Kiera, mendekap tubuh Galang untuk bersembunyi.
“Nia, udah! Kiera itu anak kamu! Dia udah minta maaf, lagian itu juga enggak sengaja. Kenapa harus bawa-bawa nama polisi, sih?” Galang bisa mendengar ayahnya yang mengomel kepada ibu tirinya.
“Walaupun itu enggak sengaja, dia udah ngebunuh Dira, Mas. Udah ngebunuh anakku satu-satunya,” terdengar suara serak yang selanjutnya menjadi lirih.
Galang mengembuskan napasnya, tak tahu harus berbuat apa. Terlihat Kiera yang menyembunyikan wajahnya di dekapannya tampak gemetar. Pintu kamar yang terbuka itu lalu dia tutup. Kemudian dia membimbing Kiera untuk duduk di bibir ranjang. Wajah dan mata cewek itu benar-benar tak sedap dipandang.
“Lo berapa lama nangis, Ki?” tanya Galang setelah menyudahi keterkejutannya.
“Tiga hari,” sahut Kiera pendek.
“Lang, kalo lo mau ceramah, biarin gue ngomong, kalo gue kayak gini karena rasa bersalah gue lebih besar. Gue emang benci sama Dira dan ibunya. Ada sebersit keinginan gue buat hancurin mereka, tapi bukan ngebunuh Dira, Lang.”
Galang terhenyak mendengar Kiera berbicara seperti menyela ucapannya yang seolah sudah diketahui oleh Kiera.
Kiera menatap manik hitam Galang dengan lekat. Kemudian dia menundukkan kepala. “Dan maaf udah ngebuat orang yang lo sayangin dari kecil, Dira, sahabat lo itu udah jadi enggak ada.”
“Ki, gue udah bilang, kalo semua Tuhan yang ngatur dan ini takdir yang harus kita terima,” ujar Galang.
“Iya,” jawab Kiera pelan. “Dan seharusnya gue ikut Bunda. Di sini bukan dunia gue.”
Galang seketika mendengus. “Kenapa lo ngomong kayak gitu?”
“Yang sayang sama gue Cuma Bunda, Lang, bahkan Ayah enggak pernah perhatiin gue. Malah sibuk sama keluarga barunya.”
“Emang lo yakin, Cuma bunda lo yang sayang sama lo?”
Begitu menusuk. Galang mampu membuat Kiera terbungkam. Kiera bisa melihat Galang yang langsung terkekeh. Kiera yakin ada makna di balik ucapan Galang barusan. Wajah tampan cowok itu membuatnya jadi teringat kala dia pertama kali bertemu di karantina saat berhasil menjadi 30 finalis penyanyi berbakat Indonesia. Galang yang ketika itu meminta maaf padanya karena Dira telah mengejek suaranya yang pas-pasan. Dan sekarang mereka berada di tempat yang sama dengan suasana yang tegang.
“Ma-maksud lo siapa?”
Galang tersenyum. “Dira sebenarnya sayang sama lo, Ki. Walaupun dia kelihatan benci banget sama lo, tapi dia selalu sayang sama lo.”
Kiera tak yakin apa yang dikatakan Galang itu benar. Dia betul-betul benci dengan Dira. Namun mata Galang tidak memperlihatkan kebohongan apa pun. Pertahanan untuk tetap kukuh, membuat air mata Kiera kembali mengalir. Sungguh, dia begitu menyesal. Seseorang yang sangat dibencinya itu adalah orang yang menyayanginya.
“Gue makin nyesel, Lang.” Kiera membenamkan tubuh kecilnya ke dekapan Galang. Galang tak tahu harus bagaimana lagi. Kiera kini begitu rapuh dan memprihatinkan.
BRAKK
Galang dan Kiera tersentak ketika mendengar suara gebrakan dari luar. Setelah saling pandang untuk bertanya ada apa, Galang segera membuka pintu kamarnya. Wajahnya seketika menegang melihat apa yang terjadi.
“Lang, ada apa?” tanya Kiera lirih. Cewek itu melangkah dengan menyeret kakinya untuk mendekati Galang. Sama seperti Galang, wajahnya ikut menegang.
“Ayah! Apa yang ayah lakuin ke Mama?” pekik Kiera duduk bersimpuh dengan tiba-tiba. Dia tak dapat menahan air matanya ketika melihat wanita yang dipanggil mama olehnya itu tergeletak dengan darah yang mengucur dari pelipis.
“Ayah enggak tahu harus berbuat apa untuk nahan dia nyerang kamu selain seperti ini,” aku lelaki itu dengan nada yang sebisa mungkin didatarkan.
Galang melihat ayahnya itu tampak membuang muka. Ada sebersit rasa benci yang hadir untuk ayah kandungnya itu ketika bersikap seolah hal itu adalah kejadian biasa. Galang ikut bersimpuh dan memegang pergelangan tangan Nia untuk merasakan denyut nadi di sana.
“Dia udah meninggal.” Itu pengakuan lelaki paruh baya setelah Galang bisa merasakan tak ada denyut yang berdetak.
Kiera membeku mendengar luncuran nada tak bersalah dari ayahnya itu. Ayahnya betul-betul tega berbicara dan berbuat layaknya itu merupakan sebuah permainan uji nyali. Dia semakin memperkeras tangisnya. Namun bukan untuk kepergian seorang ibu tiri. Dia akhirnya mengetahui arti penyesalan sebenarnya.
“Saya tidak tahu harus menyesal atau enggak,” ayahnya berujar. Lelaki itu lalu memandang Galang. “Tapi, Lang, kamu harus menyesal karena mencintai adik tirimu sendiri.”
Lelaki itu akhirnya memilih pergi meninggalkan mereka tanpa berminat untuk sekadar menoleh.
“Lang, kadang, penyesalan bisa datang di awal, kan?” tanya Kiera. Lirihan ucapannya itu membuatnya seketika lemas karena harus mendengar bahwa sebenarnya dia tidak bertepuk sebelah tangan---yang seharusnya salah. []
 __________________________________________________________________________
 Cerita ini saya poskan sebagai apresiasi dalam mengikuti sebuah lomba menulis fiksi.



Jumat, 09 Januari 2015

FF: Puluhan Surat di Loker

Lokermu kini tumpah beruah dengan puluhan surat-surat yang jatuh ke lantai ketika kau mebuka lokermu itu. Aku meringis melihatmu yang sambil berdecak memungut surat-surat itu. Wajahmu terlihat kesal dan rahang tegasmu menjadi tegang.

"Ini siapa, sih, yang kurang kerjaan taruh kertas-kertas kayak gini?" Kau memutar matamu dan kembali memasukkan surat-surat itu ke dalam loker. Aku mengangkat alis melihat tindakanmu itu. Bukankah kau kesal dengan puluhan surat yang memenuhi ruang di lokermu, namun kenapa malah memasukkannya kembali? Sebenarnya kau bisa menaruhnya di kotak sampah dan aku akan mengikhlaskannya.

Aku menjadi miris sendiri dengan diriku. Aku bukannya mengaku bahwa diriku lah yang sengaja meletakkan surat di lokermu setiap hari, malah mengintaimu dari balik dinding. Aku kembali melihat dirimu yang tampak mengambil kaus olahraga lalu beringsut pergi. Aku segera merogoh saku rokku dan mendapati kunci lokermu. Kunci duplikatnya.

"Chi!" Aku segera menoleh dan mendapati temanku memanggilku. Aku mengerti apa maksudnya, lantas beranjak untuk mendekat sembari memasukkan kunci duplikat lokermu kembali ke saku.

"Chi!" Aku kembali mendengar dan segera berbalik. Kau yang sedang memegang kaus olahragamu menatapku lekat. "Lo tahu siapa yang taruh surat-surat yang ada di loker gue?"

Satu sekolah sudah tahu jika kau mengumpulkan surat-surat itu di lokermu. Dan setiap kali kau berjumpa dengan perempuan yang melihat dirimu sedang memungut surat, kau akan bertanya seperti yang kau tanyakan kepadaku.

"Nggak tahu." Aku menggelengkan kepala dan membuat alibi agar kau tak tahu bahwa aku punya duplikat kunci lokermu.

Kau mengembuskan napas kecewa. Aku mengangkat bahu lalu berlalu dengan berusaha menyembunyikan semuanya.

"Tapi, gue harap, lo yang naruh."

Aku membalikkan tubuhku dan kau tampak mengalihkan wajah dan berbalik meninggalkanku. Tunggu dulu, bukankah ucapan terakhirmu tak kau gunakan setelah kau bertanya tentang siapa yang menaruh surat di lokermu?

OWARI

Minggu, 04 Januari 2015

FF: Gadis Gila di Sore Hari

Angin sore perlahan melambaikan rinainya dan aku yakin hujan akan bertandang disertai angin. Gadis yang berada di halte seberang tersebut memeluk erat tubuhnya dengan cardigan--aku yakin takkan menambah hangat tubuhnya. Dengan rambutnya yang terurai panjang dan tampak ikut melambai mengiringi angin, seperti menampar wajah gadis itu. Gadis itu sambil menghangatkan tubuhnya di dekat tiang, seringkali menyelipkan rambutnya yang terus menampar wajahnya. Aku terkekeh geli melihat tingkah yang takkan bisa diselesaikan, jika ia tak berpindah posisi.

"Mel! Ayo cepat pulang!" Aku menyipitkan mataku ketika gadis itu kedatangan seorang laki-laki lebih tua darinya, menyuruh gadis itu untuk pulang.

Gadis itu menggeleng pelan. "Mela nggak mau pulang."

"Tapi kamu udah kedinginan," ujar laki-laki itu sembari melengos. Tak berapa lama kemudian laki-laki itu menarik lengan gadis yang bernama Mela. Mela tampak kukuh tetap berdiri di situ sementara laki-laki itu terus menarik lengan Mela.

"Mela, ayo dong, nanti Kak Vero beliin hamsternya."

"Nggak mau, maunya sekarang!"

Aku yang berada di seberang jalan, masih bisa melihat umpatan dari Vero yang mengatakan gadis itu gila. Melihat dari kukuh dan mau tak maunya Mela, sepertinya gadis itu mempunyai kelainan jiwa.

"Ya udah, pulang dulu!" Vero dengan cepat menarik Mela ketika gadis itu lengah. Mau tak mau Mela menurut. Tak berapa lama, matanya tertuju padaku. Matanya seketika berbinar dan senyumannya merekah senang.

"Kak, Mela mau itu!" tunjuknya. Sial! Ia menunjuk diriku. Aku menelan ludahku dan segera berlari untuk menghindar. Sempat aku menoleh dan mendapati Mela dan Vero mengejarku.

Ada apa ini?

OWARI